AKAR-AKAR PERSAMAAN

0 komentar

Dalam matematikametode bagi-dua adalah algoritma pencarian akar yang membagi dua selang, lalu memilih bagian selang yang berisi akar seharusnya berada untuk diproses lebih lanjut. Metode ini sangat sederhana dan tangguh, tapi juga sangat lambat.



Beberapa langkah metode bagi-dua yang diterapkan terhadap kisaran awal [a1;b1]. Titik merah yang lebih besar adalah akar fungsi.

Metode ini berlaku ketika kita ingin memecahkan persamaan f(x) = 0 untuk variabel skalar x, di mana f merupakan fungsi kontinu.
Metode bagi-dua mensyaratkan dua titik awal a dan b sedemikian sehingga f(a) danf(b) memiliki tanda berlainan. Ini dinamakan kurung dari sebuah akar. Menurut teorema nilai antara, fungsi f mestilah memiliki paling tidak satu akar dalam selang (ab). Metode ini kemudian membagi selang menjadi dua dengan menghitung titik tengah 
c = (a + b) / 2 dari selang tersebut. Kecuali c sendiri merupakan akar persamaan, yang mungkin saja terjadi, tapi cukup jarang, sekarang ada dua kemungkinan: f(a) dan f(c) memiliki tanda berlawanan dan mengapit akar, atau f(c) dan f(b) memiliki tanda berlawanan dan mengapit akar. Kita memilih bagian selang yang mengapit, dan menerapkan langkah bagi-dua serupa terhadapnya. Dengan cara ini selang yang mungkin mengandung nilai nol dari f dikurangi lebarnya sebesar 50% pada setiap langkah. Kita meneruskan langkah ini sampai kita memiliki selang yang dianggap cukup kecil.
Secara eksplisit: jika f(af(c) < 0, maka metode ini menetapkan b baru sama dengan c, dan bila f(bf(c) < maka metode ini menetapkan a baru sama dengan c. Dalam kedua kasus, f(a) dan f(b) baru memiliki tanda berlawanan, sehingga metode ini dapat diterapkan pada selang baru yang lebih kecil ini. Implementasi metode ini harus berjaga-jaga terhadap kemungkinan bahwa titik tengah ternyata merupakan pemecahan.

Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Metode_bagi-dua

RATIONALISM VS EMPIRICISM

0 komentar


RATIONALISM VS EMPIRICISM

Pertentangan yang terjadi antara kedua aliran ini kuat menyangkut tentang perbedaan doktrin epistemologi mereka. Rasionalisme menyakini bahwa pengetahuan kita idasarkan pada asas-asas a priori yang terdapat dalam rasio, bukan pada pengalaman empiris. Pengetahuan tentang jiwa, substansi atau ketuhanan misalnya, tidak dicapai lewat pengalaman indrawi, melainkan bersumber dari rasio. Sementara itu berseberangan dengan pendirian rasionalisme, empirisme menyakini bahwa pengetahuan kita berasal dari pengalaman, khususnya merupakan hasil observasi atau pencerapan indrawi.
Terdapat dua aspek umum dalam realisme yang digambarkan dengan melihat pada realisme mengenai dunia keseharian dari obyek makroskopik beserta sifat- sifatnya. Aspek pertama, yaitu terdapat sebuah klaim tentang dimensi eksistensi suatu obyek yang nyata (terlihat). Sementara itu, aspek yang kedua dari realisme tentang dunia keseharian dari obyek makroskopis beserta sifat-sifatnya memiliki dimensi kebebasan dalam hal kepercayaan yang dianut seseorang, bahasa yang digunakan, skema konseptual, dan sebagainya (realisme generik).Sifat dan penjelasan-penjelasan yang masuk akal dari paham realisme merupakan issu-issu yang hangat diperdebatkan dalam metafisik kontemporer mengenai berbagai obyek dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam aliran empiris terdapat tiga prinsip pertautan ide. Pertama, prinsip kemiripan yaitu mencari kemiripan antara apa yang ada di benak kita dengan kenyataan di luar. Kedua, prinsip kedekatan, misalnya apabila kita memikirkan sebuah rumah, maka berdasarkan prinsip kedekatan kita juga berpikir tentang adanya jendeka, pintu, atap, perabot sesuai dengan gambaran rumah yang kita dapatkan lewat pengalaman inderwi sebelumnya. Ketiga, prinsip sebab- akibat yaitu jika kita memikirkan luka, kita pasti memikirkan rasa sakit akibatnya.

A.     Pengantar
Perselisihan antara rasionalisme dan empirisme mengambil tempat dalam epistemologi, yang merupakan cabang filsafat dikhususkan untuk mempelajari alam, sumber dan batas-batas pengetahuan. Pertanyaan mendefinisikan epistemologi meliputi berikut ini.


1.   Apakah sifat pengetahuan proposisional, pengetahuan bahwa suatu proposisi tertentu tentang dunia itu benar?
Mengetahui proposisi tertentu membutuhkan baik yang kita percaya dan bahwa hal itu benar, tetapi juga jelas memerlukan sesuatu yang lebih, sesuatu yang membedakan pengetahuan dari sebuah menebak beruntung. Mari kita sebut 'surat perintah' ini unsur tambahan. Banyak kerja yang baik filsafat telah diinvestasikan dalam usaha untuk menentukan sifat dari unsur tambahan.

2. Bagaimana kita bisa memperoleh pengetahuan?
Kita dapat membentuk keyakinan benar hanya dengan membuat beberapa tebakan beruntung. Bagaimana kita bisa mendapatkan keyakinan diperlukan tidak jelas. Selain itu, untuk mengenal dunia, kita harus berpikir tentang hal ini, dan tidak jelas bagaimana kita memperoleh konsep yang kita gunakan dalam pemikiran atau apa jaminan, jika ada, kami memiliki cara-cara di mana kita membagi dunia dengan menggunakan konsep-konsep kita sesuai untuk divisi yang benar-benar ada.

3. Apa batas-batas pengetahuan kita?
Beberapa aspek dunia mungkin dalam batas-batas pemikiran kita tetapi di luar batas pengetahuan kita, dihadapkan dengan deskripsi bersaing dari mereka, kita tidak bisa tahu mana deskripsi benar. Beberapa aspek dari dunia bahkan mungkin di luar batas pikiran kita, sehingga kita tidak dapat membentuk deskripsi jelas dari mereka, apalagi tahu bahwa suatu deskripsi tertentu adalah benar.
Ketidaksepakatan antara rasionalis dan empiris terutama menyangkut pertanyaan kedua, tentang sumber konsep dan pengetahuan. Dalam beberapa kasus, ketidaksetujuan mereka pada topik ini membuat mereka untuk memberikan tanggapan yang bertentangan terhadap pertanyaan-pertanyaan lain juga. Mereka mungkin tidak setuju atas sifat surat perintah atau sekitar batas-batas pikiran kita dan pengetahuan. Fokus kami di sini akan di respon rasionalis dan empiris bersaing untuk pertanyaan kedua.

Rasionalisme
Rasionalisme adalah sebuah pandangan yang berpegangan bahwa akal merupakan sumber bagi pengetahuan dan pembenaran. Secara terminologis aliran ini dipandang sebagai aliran yang berpegang pada prinsip bahwa akal harus diberi peranan utama dalam penjelasan. Ia menekankan akal budi (rasio) sebagai sumber utama pengetahuan, mendahului atau unggul atas, dan bebas (terlepas) dari pengamatan inderawi. Hanya pengetahuan yang diperoleh melalui akal yang memenuhi syarat semua pengetahuan ilmiah. Pengalaman hanya dipakai untuk mempertegas pengetahuan yang diperoleh akal. Akal tidak memerlukan pengalaman. Akal dapat menurunkan kebenaran dari dirinya sendiri, yaitu atas dasar asas-asas pertama yang pasti.
Rasionalisme tidak mengingkari nilai pengalaman, melainkan pengalaman hanya dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran. Karenanya, aliran ini yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak di dalam ide, dan bukannya di dalam barang sesuatu. Jika kebenaran bermakna sebagai mempunyai ide yang sesuai dengan atau yang menunjuk kepada kenyataan, maka kebenaran hanya dapat ada di dalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh dengan akal saja.
Kaum Rasionalisme mulai dengan sebuah pernyataan yang sudah pasti. Aksioma dasar yang dipakai membangun sistem pemikirannya diturunkan dari ide yang menurut anggapannya adalah jelas, tegas dan pasti dalam pikiran manusia. Pikiran manusia mempunyai kemampuan untuk mengetahui ide tersebut, namun manusia tidak menciptakannya, maupun tidak mempelajari lewat pengalaman. Ide tersebut kiranya sudah ada “di sana” sebagai bagian dari Dalam pengertian ini pikiran menalar. Kaum rasionalis berdalil bahwa karena pikiran dapat memahami prinsip, maka prinsip itu harus ada, artinya prinsip harus benar dan nyata. Jika prinsip itu tidak ada, orang tidak mungkin akan dapat menggambarkannya. Prinsip dianggap sebagai sesuatu yang apriori, dan karenanya prinsip tidak dikembangkan dari pengalaman, bahkan sebaliknya pengalaman hanya dapat dimengerti bila ditinjau dari prinsip tersebut.
Tokoh terkenal dalam kelompok yang mewakili wilayah rasionalisme ini antara lain:
Rene Descartes
Adalah seorang-orang yang berasal dari Perancis, mendapatkan ajaran pada biara katholik. Descartes membangun system filsafati yang melibatkan metode penelitian, metafisika, fisika, dan biologi mekanistik. Menurutnya, jika akan memulai harus ada pangkalmnyaĆ  titik archimides. Pangkal yang yang dimaksud adalah pangkal pikir yang menyatakan “ Cogito ergo sum”, karena aku berpikir, jadi akau ada. Dengan demikian akal [berpikir] menjadi pangkal filsafatnya, oleh karenanya aliran ini dikenal rasionalisme.
Leibnitz.
Seorang Jerman yang pada usia 17 tahun telah menjadi sarjana, Teorinya menyatakan bahwa segala sesuatu itu terjadi dari monode, tidak ada hubungannya dengan luar, dan tidak mempunyai hubungan apa pun. Pengetahuan tidak berpangkal di luar diri kita, tetapi berpangkal pada diri kita sendiri, yaitu akal. Gagagasan cemerlangnya melahirkan doktrin “Doctrine of innate idea” [innate = dibawa sejak lahir]

Wolff.
Adalah seorang warga Jerman yang merupakan eksoponen dari aliran rasionalisme. Ia adalah seorang guru besar yang menyebarkan pokok-pokok pikiran rasionalis. Kita dapat memperoleh pengetahuan atas dasar rasio, terlepas dari pengalaman. Apa yang dikatakan rasio itulah yang benar. Dengan tegas menyatakan bahwa pengetahuan kita senantiasa berdasarkan innate ideas yang bersumber pada diri kita dan berpangkal dari rasio kita.

DEDUKSI diberi batasan sebagai penalaran dengan simpulan yang lebih sempit daripada wilayah premisnya. Cara kerja deduksi berpikir di mana dari pernyataan yang bersifat umum ditarik kesimpulan yang bersifat khusus.

Empirisme
Empirisme secara etimologis berasal dari kata bahasa Inggris empiricism dan experience.Kata-kata ini berakar dari kata bahasa Yunani Ī­Ī¼Ļ€ĪµĪ¹ĻĪÆĪ± (empeiria) dan dari kata experietia yang berarti “berpengalaman dalam”, “berkenalan dengan”, “terampil untuk”. Sementara menurut A.R. Lacey berdasarkan akar katanya Empirisme adalah aliran dalam filsafat yang berpandangan bahwa pengetahuan secara keseluruhan atau parsial didasarkan kepada pengalaman yang menggunakan indera.
Selanjutnya secara terminologis terdapat beberapa definisi mengenai Empirisme, di antaranya: doktrin bahwa sumber seluruh pengetahuan harus dicari dalam pengalaman, pandangan bahwa semua ide merupakan abstraksi yang dibentuk dengan menggabungkan apa yang dialami, pengalaman inderawi adalah satu-satunya sumber pengetahuan, dan bukan akal.
Menurut aliran ini adalah tidak mungkin untuk mencari pengetahuan mutlak dan mencakup semua segi, apalagi bila di dekat kita terdapat kekuatan yang dapat dikuasai untuk meningkatkan pengetahuan manusia, yang meskipun bersifat lebih lambat namun lebih dapat diandalkan. Kaum empiris cukup puas dengan mengembangkan sebuah sistem pengetahuan yang mempunyai peluang besar untuk benar, meskipun kepastian mutlak tidak akan pernah dapat dijamin.
Kaum empiris memegang teguh pendapat bahwa pengetahuan manusia dapat diperoleh lewat pengalaman. Jika kita sedang berusaha untuk meyakinkan seorang empiris bahwa sesuatu itu ada, dia akan berkata “tunjukkan hal itu kepada saya”. Dalam persoalan mengenai fakta maka dia harus diyakinkan oleh pengalamannya sendiri. Jika kita mengatakan kepada dia bahwa seekor harimau di kamar mandinya, pertama dia minta kita untuk menjelaskan bagaimana kita dapat sampai kepada kesimpulan tersebut. Jika kemudian kita mengatakan bahwa kita melihat harimau tersebut di dalam kamar mandi, baru kaum empiris akan mau mendengar laporan mengenai pengalaman kita, namun dia hanya akan menerima hal tersebut jika dia atau orang lain dapat memeriksa kebenaran yang kita ajukan, dengan jalan melihat harimau itu dengan mata kepalanya sendiri.
Tokoh terkenal dalam kelompok aliran empiris ini antara lain :

John Locke (1632-1704)
Adalah seorang dokter yang berasal dari Inggris yang juga menjadi salah satu penasihat raja Inggris. Dalam berbicara sangat rigit dan berhati-hati, dan ungkapannya yang dikenal hingga saat “ Tidak ada sesuatu pada akal yang sebelumnya tidak ada pada indera kita”. Jadi, indera sebagai sesuatu hal yang primer, sedangkan akal sebagai hal yang sekunder yang fungsinya hanya sebagai penerima”
Dari ungkapanya menunjukkan bahwa John Lock menolak doktrin Rene Descartes “Doktrine of innate ideas”
Karya: Essay Concerning Human Understanding. Esai yang berkenaan dengan pemahaman manusia (1690)

George Berckeley (1685-1753)
Adalah seorang pendeta, dilahirkan di Irlandia di wilayah Kilkeni. Kakek moyangnya berasal dari Inggris Protestan. Pada tahun 1707 diangkat menjadi wakil uskup Derry, kemudian setelah sepuluh tahun menjadi uskup Coloin, kemudian meninggal pada tahun 1753. Pikirannya lebih radical dibanding dengan John Locke, ucapannya sangat tegas Ć  Esse est percipi”Ć  ada karena diamati”
Karya: A Treatise Concerning the participle of Human Knowledge.
Risalah mengenai Prinsip-prinsip Pengetahuan manusia [1790]

David Hume (1711-1776)
Hume mengatakan sesuai dengan ucapan Berckeley yakni “Esse est percipi”, mata saya menatap pada apa yang saya amati, kalimat inilah yang menunjukkan bahwa David saya terguh pendirianya, bahwa indera yang menuntun manusia menemukan pengetahuan.
Karya: A Treatise Of Human Nature

INDUKSI:
Adalah penalaran dengan kesimpulan yang wilayahnya lebih luas daripada premisnya, sehingga merupakan cara berpikir dengan menarik simpulan yang bersifat umum dari kasus-kasus yang bersifat individual. Keuntungan dari cara berpikir ini adalah mengkondisikan berlanjutnya penalaran, dan sangat ekonomis.
Contoh  induksi
Jika seseorang akan melakukan penelitian dengan menggunakan metode induksi, maka harus melalui tahapan-tahapan berikut:
1. perumusana masalah: masalah yang hendak dicarikan penjelasan ilmiahnya.
2. pengajuan hipotesis:mengajukan penjelasan yang masih bersifat sementara untuk diuji lebih lanjut melalui verifikasi
3. pengambilan sample:pengumpulan data dari beberapa fakta particular yang dianggap bisa mewakili keseluruhan untuk keperluan penelitian lebih lanjut
4. Verifikasi:pengamatan disertai pengukuran statistic untuk memberi landasan bagi hipotesa
5. tesis: hipotesis yang telah terbukti kebenarannya.
B.     Persamaan dan perbedaan antara Rasionalisme dan Empirisme
Terdapat dua aspek umum dalam realisme yang digambarkan dengan melihat pada realisme mengenai dunia keseharian dari obyek makroskopik beserta sifat- sifatnya. Aspek pertama, yaitu terdapat sebuah klaim tentang dimensi eksistensi suatu obyek yang nyata (terlihat). Sementara itu, aspek yang kedua dari realisme tentang dunia keseharian dari obyek makroskopis beserta sifat-sifatnya memiliki dimensi kebebasan dalam hal kepercayaan yang dianut seseorang, bahasa yang digunakan, skema konseptual, dan sebagainya (realisme generik).
Sifat dan penjelasan-penjelasan yang masuk akal dari paham realisme merupakan issu-issu yang hangat diperdebatkan dalam metafisik kontemporer mengenai berbagai obyek dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut Hume (1999) di dalam aliran empiris terdapat tiga prinsip pertautan ide. Pertama, prinsip kemiripan yaitu mencari kemiripan antara apa yang ada di benak kita dengan kenyataan di luar. Kedua, prinsip kedekatan, misalnya apabila kita memikirkan sebuah rumah, maka berdasarkan prinsip kedekatan kita juga berpikir tentang adanya jendeka, pintu, atap, perabot sesuai dengan gambaran rumah yang kita dapatkan lewat pengalaman inderwi sebelumnya. Ketiga, prinsip sebab- akibat yaitu jika kita memikirkan luka, kita pasti memikirkan rasa sakit akibatnya. Bagi Hume, ilmu pengetahuan tidak pernah mampu memberi pengetahuan yang niscaya tentang dunia ini. Kebenaran yang bersifat a priori seperti ditemukan dalam matematika, logika dan geometri memang ada, namun menurut Hume, itu tidak menambah pengetahuan kita tentang dunia. Pengetahuan kita hanya bisa bertambah lewat pengamatan empiris atau secara a posteriori.
Perbedaan antara rasionalisme dengan empiris secara umum adalah kalau pada aliran rasionalisme pengetahuan itu berupa a priori, bersumber dari penalaran dan pembuktian-pembuktian pada logika dan matematika melalui deduksi, sedangkan pada aliran empirisisme pengetahuan bersumber pada pengalaman , terutama pada pengetahuan dalam pembuktian- pembutiannya melalui eksperimentasi, observasi, dan induksi.
Perbedaan antara Rasionalisme dan Empirisisme oleh Immanuel Kant diambil jalan tengahnya, yaitu Immanuel Kant mengajukan sintesis a priori. Menurutnya pengetahuan yang benar bersumber rasio dan empiris yang sekaligus bersifat a priori dan a posteriori. Sebagai gambaran, kita melihat suatu benda dikarenakan mata kita melihat ke arah benda tersebut (rasionalisme) dan benda tersebut memantulkan sinar ke mata kita (empirisme).
Menurut Edward (1967) secara terminologi rasionalisme dipandang sebagai aliran yang menekankan akal budi (rasio) sebagai sumber utama pengetahuan, mendahului atau unggul atas, dan bebas (terlepas) dari pengalaman inderawi. Hanya pengetahuan yang diperoleh melalui akal yang memenuhi syarat semua pengetahuan ilmiah. Pengalaman hanya dipakai untuk mempertegas pengetahuan yang diperoleh akal. Akal tidak memerlukan pengalaman. Akal dapat menurunkan kebenaran dari diri sendiri, yaitu atas dasar asas-asas petama yang pasti.
Menurut Kattsoff (2004) rasionalisme tidak mengingkari nilai pengalaman, melainkan hanya dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran. Karenanya aliran ini yakin bahwa kebenaran dan kesehatan terletak pada ide, dan bukannya di dalam barang sesuatu. Jika kebenaran bermakna sebagai mempunyai ide yang sesuai dengan atau dengan yang menunjuk kepada kenyataan, maka kebenaran hanya dapat ada di dalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh dengan akal saja.
Persamaan antara rasionalisme dan empirisme adalah rasio dan indra manusia sama-sama berperan dalam pembentukan pengetahuan.

C.    Pengaruh aliran Rasionalisme dan Empirisisme Terhadap Perkembangan Filsafat Matematika
Filsafat matematika lahir di Yunani Kuno yang ditemukan dan dikembangkan oleh para filsuf seperti Socrates, Plato, Aristoteles dan juga oleh beberapa filsuf pra- Socrates, masalah filsafat matematika ini masih menjadi kajian filsuf-filsuf masa kini.
Pada abad ke-18 muncul salah seorang filsuf, yaitu Immanuel Kant (Shapiro:2000) yang termotivasi oleh perselisihan antara rasionalisme dan empirisisme yang mengungkapkan bahwa kebenaran-kebenaran dari geometri, aritmetika, dan aljabar bersifat „sintetik a priori’, yang berdasarkan pada ‘intuisi’. Selain Kant, muncul juga filsuf lain, yaitu John Struat Mill yang dalam pandangannya bahwa matematika dan logika berhubungan dengan perkara-perkara fakta. Mill menolak eksistnsi objek-objek abstrak, dan dia berupaya membangun geometri pada observasi.
Pengertian dari filsafat matematika adalah suatu filosopi yang menjelaskan kedua sifat fakta dan entitas matematika, dan cara di mana kita memiliki pengetahuan tentang keduanya. Tujuan filsafat matematika adalah untuk memberikan penjelasan tentang sifat dan metodologi matematika dan untuk memahami tempat matematika dalam kehidupan kita.
Menurut David Ross filsafat matematika adalah suatu studi filsafat tentang konsep-konsep dan metode-metode matematika. Metode-metode ini dikhususkan pada bilangan-bilangan, objek geometri dan konsep-konsep matematika lainnya. Di antara ilmu-ilmu pengetahuan, matematika mempunyai sebuah hubungan yang unik ke filsafat, karena jaman dahulu, ahli filsafat sudah banyak berusaha untuk mengabdikan dalam menjelaskan sifat alami matematika.
Pada jaman Yunani, filsafat pada matematika sangat dipengaruhi oleh studi mereka yaitu geometri, sedangkan pada abad 20, filsafat matematika menyangkut hubungan antara logika dan matematika dan ditandai dengan minat yang dominan dalam logika formal, teori himpunan, dan isu-isu mendasar.
Menurut Aristoteles (Annas:1976), menyatakan bahwa obyek matematika seperti segitiga dan lingkaran adalah abstraksi dari percobaan, yaitu dari interaksi kita dengan berbagai benda-benda yang kira-kira berbentuk bulat yang membentuk konsep bola yang sempurna. Penalaran tentang bola secara umum bermuara pada penalaran tentang bidang spesifik yang kami temui, yaitu dengan sengaja kita mengabaikan fitur seperti ukuran, berat, dan material. Disiplin inilah perilaku yang memastikan bahwa kesimpulan secara umum, dan meskipun lingkungan bola yang dijumpai dalam pengalaman kita tidak sempurna.
Teori filosopis ini contoh awal pemicu ketegangan antara Plato dan Aristoteles yang memberikan keutamaan kepada konsep-konsep abstrak, dan orang-orang yang memberikan keutamaan kepada pengalaman. Hal ini telah membentuk dasar bagi perbedaan secara umum antara rasionalis dan empiris antara filsuf awal modern, ini sebagai alasan pertama mengambil matematika dan 'ide-ide bawaan' sebagai paradigma pengetahuan, dan yang kedua mendasarkan perhitungan mereka tentang pengetahuan dalam ilmu-ilmu empiris.
Berdasarkan pertentangan dan persamaan antara rasionalisme dan empirisme memotivasi berkembanganya para filsuf dibidang matematika sampai kini dengan berbagai alasannya dan juga berkembang berbagai paham lainnya dalam filsafat matematika.

D.    Dampak aliran Rasionalisme dan Empirisisme Terhadap Perkembangan Ilmu Matematika
Menurut Kartasasmita dan Wahyudin (2009) Matematika dalam hal ini geometri sudah mulai dikembangkan pada zaman Yunani klasik sepanjang tahun 600 sampai 300 S.M., tetapi kenyataannya sejarah matematika sendiri dimulai jauh sebelum itu. Matematika yang paling kuno menurut Friberg (1981) adalah Plimpton 322 (Babel matematika c 1900 SM) di Moskow Mathematical Papyrus (matematika Mesir sekitar 1850 SM), dan Rhind Mathematical Papyrus (matematika Mesir sekitar 1650 SM).
 Selanjutnya menurut Sitorus (1990) perkembangan matematika tumbuh di pantai-pantai Asia kecil di Gerik dan Itali ditemukan oleh seorang sudagar kaya dari Mesir, yaitu Thales ( 640 – 546 BC), ia mempelajari Matematika mesir dan mengagumi piramida kemudian menghitung tinggi piramida dengan bantuan bayangannya. Thales mengambil sebuah tongkat, misalnya PQ, ia membuat lingkaran pusat P jari-jari sama dengan PQ. Pada saat itu Thales melakukannya di pagi hari yang cerah, sehingga bayangan Q jatuh tepat pada tepi lingkaran atau bayangan PQ=PR, pada saat itu pula bayangan T jatuh di titik S, sehingga KS dapat diukur.
Berarti MS=TM=t tinggi piramida. Sebut MK = AB = a (setengah alas piramida)
dapat diukur. KS = b dapat diukur. Jadi t = a + b. demikian metoda bayangan dari Thales. Thales adalah orang pertama yang namanya dikaitkan dengan suatu penemuan, yakni dalil Thales. Dalil Thales tersebut adalah garis-garis sejajar akan memotong dua garis atas perbandingan-perbandingan seharga, misalnya AP : PB = DQ : QC. Dalil ini masih dipelajari di SMP atau di SMA sekarang ini, selain itu juga Thales orang pertama yang menemukan sifat-sifat geometri seperti berikut ini:
1. Diameter membagi dua sama besar suatu lingkaran
2. Sudut alas suatu segitiga sama kaki, sama besar
3. Sudut siku yang dibentuk dua garis berpotongan tegaklurus sama besar
4. Dua segitiga kongruen jika dua sudut dan satu kaki yang bersesuaian dari sudut itu, sama besar
Walaupun teori ini sederhana menurut kita sekarang, tetapi Thales orang pertama yang menyusun teori ini bukan hanya berdasarkan pengalaman (empiris) tetapi juga berdasarkan pemikiran yang logis (rasio).
Salah seorang yang mengembangkan matematika di Eropah pada Abad 17 adalah Galileo Galilei, ia mengamati lampu gantung di Gereja Pisa dan mendapatkan bahwa periode ayunan lampu tidak tergantung pada panjang busur ayunannya dan membuktikan bahwa periode ayunan tidak tergantung kepada beban bandulnya, dan penemuan lainnya yaitu bahwa kecepatan benda jatuh tidak tergantung pada berat benda itu. Penemuan Galileo ini memberi pandangan baru terhadap ilmu pengetahuan yaitu keselarasan antara ekspeimen dengan teori.
Perkembangan cabang-cabang matematika mulai zaman sebelum Masehi sampai sekarang seperti aritmetika, geometri kalkulus, aljabar, statistik dan analisis beserta pembuktian-pembuktian yang telah ditemukan oleh para ahli matematika dapat kita pelajari sampai sekarang. Apabila kita mengkaji baik teori maupun bukti- bukti dari teorema-teorema cabang-cabang matematika tersebut maka ini tidak terlepas dari penemuan-penemuan para akhli matematika dan filsafat matematika beserta paham yang dianutnya dalam hal ini adalah paham rasionalisme dan empirisisme.
Berdasarkan perbedaan dan persamaan dari paham rasionalisme dan empirisisme, maka kontribusi kedua paham tersebut terhadap perkembangan matematika antara lain dalam hal pembuktian-pembuktian suatu teorema, yaitu dengan menggunakan akal (rasio) dan pengalaman indera (empirisis) untuk merangsang ingatan dan membawa kesadaran terhadap pengetahuan yang selama itu sudah ada dalam pikiran.

FIKSIONALISME DALAM FILSAFAT MATEMATIKA

0 komentar


FIKSIONALISME DALAM FILSAFAT MATEMATIKA

Matematika sebagai sebuah pengetahuan yang perumusannya tidak menggunakan metode eksperimental menjadi berbeda dengan sains. Matematika juga berbeda dengan humaniora karena sifatnya yang eksak. Penggabungan dua perbedaan inilah yang menjadikan matematika menarik untuk dikaji. Apalagi kelahirannya bersamaan tempat dan masa dengan kelahiran filsafat, yang disebut sebagai dasar dari segala ilmu. Kesamaan tersebut menimbulkan adanya interaksi antara filsafat dan matematika. Lebih lanjut, interaksi tersebut melahirkan bidang-bidang kajian baru, diantaranya filsafat matematika. Filsafat matematika sendiri kemudian berkembang menjadi banyak aliran. Aliran-aliran tersebut muncul karena perbedaan pendapat antara ilmuwan satu dengan lainnya.
Dari banyak pendapat dan aliran, terdapat satu pendapat baru mengenai asal matematika yang berbeda jauh dengan pendapat lainnya, terutama pendapat 3 aliran besar filsafat matematika (Realisme, Intuisionisme, dan Konstruktivisme). Pendapat lain yang berbeda jauh adalah pendapat aliran Fiksionalisme mengenai keberadaan matematika.
Fiksionalisme matematika atau bisa disebut sebagai fiksionalisme adalah gagasan terbaik sebagai sebuah reaksi terhadap platonisme matematika. Platonisme adalah (a) tinjauan yang ada tentang objek matematika yang bersifat abstrak (yaitu objek matematika nonspatiotemporal), dan (b) kalimat serta teori-teori matematika dimana kita dapat memberikan gambaran yang benar tentang objek-objek. Misalnya : dalam tinjauan platonis, kalimat “3 adalah bilangan prima” memberikan sebuah gambaran yang terus terang tentang sebuah nama objek tertentu, angka 3 memiliki arti yang sama pada kalimat “Planet Mars itu berwarna merah” memberikan sebuah gambaran tentang Mars. Akan tetapi Mars adalah sebuah objek fisik, sedangkan angka 3 (sesuai dengan platonisme) adalah sebuah obyek abstrak. Platonis memberitahukan kepada kita bahwa objek abstrak adalah semua yang bersifat non fisik, non mental, non ruang, non temporal, non sebab. Jadi dalam tinjauan ini, angka 3 ada bebas dalam diri dan pikiran kita, tetapi tidak ada dalam ruang ataupun waktu, bukan berupa objek fisik atau mental, dan tidak masuk kedalam sebab hubungan dengan objek lain. Tinjauan ini telah disahkan oleh Plato, Frege (1884, 1893-1903, 1919), Gƶdel (1964), dan dalam beberapa tulisan mereka, Russell (1912) dan Quine (1948, 1951), serta oleh banyak filosof/filsuf matematika terdahulu yang tidak disebutkan, misalnya Putnam (1971), Parsons (1971), Steiner (1975), Resnik (1997) Shapiro (1997), Hale (1987), Wright (1983), Katz (1998), Zalta (1988), dan Colyvan (2001).
Fiksionalisme, di sisi lain adalah sebuah tinjauan yang merupakan (a) kalimat dan teori–teori matematika kita yang mengartikan tentang objek-objek matematika yang bersifat abstrak, seperti pendapat-pendapat dalam platonisme, tetapi (b) tidak ada benda yang abstrak sehingga (c) teori-teori matematika kita menjadi tidak benar. Karena itu, ide seperti kalimat “3 adalah bilangan prima” adalah salah, atau tidak benar, untuk alasan yang sama, mengatakan bahwa “peri itu murah hati” adalah salah atau tidak benar, karena tidak ada orang yang seperti peri, jadi tidak ada sesuatu yang seperti angka 3. Hal ini penting untuk dicatat, meskipun nama tinjauan, fiksionalisme tidak melibatkan beberapa pernyataan yang sangat kuat tentang analogi antara matematika dan fiksi. Misalnya, tidak ada pernyataan disini bahwa teks tentang matematika adalah sebuah jenis fiksi atau sesuatu sejenisnya. Karena itu, kekhayalan tidak dimasukkan ke dalam tesis yang tidak ada ketidakanalogisan yang penting antara matematika dan fiksi. (kita akan kembali ke isu ini pada seksi 2.4) Akhirnya, ini seharusnya juga dicatat di awal bahwa fiksionalisme adalah sebuah versi nominal matematika, tinjauan bahwa tidak ada sesuatu yang sama dengan objek matematika.
Fiksionalisme pertama kali dikenalkan oleh Field (1980, 1989, 1998). Sejak itu, kemudian pandangan ini telah dikembangkan dalam hal yang sedikit berbeda oleh Balaguer (1996a, 1996b, 1998a, 2001), Rosen (2001), Yablo (2002a, 2002b), dan Leng (2005, yang akan datang), melalui yang akan dijelaskan di bawah, suatu pertanyaan kemungkinan apakah pandangan Yablo adalah interpretasi terbaik sebagai sebuah versi dalam fiksionalisme. Akhirnya, satu kemungkinan juga diinterpretasikan Melia, sebagai pertahanan pandangan fiksionalis, meskipun dia tidak benar-benar memasukkan ke dalamnya. [Ini catatan berharga bahwa Hoffman (2004) juga mengesahkan sebuah tinjauan yakni, sebuah jenis fiksionalisme.
Pandangannya sangat berbeda dari pandangan fiksionalis yang telah dijelaskan di atas. Bagaimanapun, karena hal ini tidak melibatkan sebuah komitmen ke dalam tesis (a) maka dia menginterpretasikan kembali matematika sepanjang garis Kitcher (1984), dan kemudian mengesahkan sebuah pandangan fiksionalis tentang penginterpretasian kembali, yakni dia mempertahankan pendapat bahwa matematika adalah sebuah penginterpretasian kembali dalam hal ini, ini adalah istilah tunggal yang tidak berhasil untuk menunjukkan dan kalimat-kalimatnya tidak benar. (Ini tidak jelas berapa banyak pandangan yang berbeda dari pandangan Kitcher; satu kemungkinan interpretasi Kitcher sebagai pandangan pengesahan yang sama). Di berbagai acara, ini penting untuk dicatat bahwa penolakan terhadap tesis Hoffman (a) membuat pandangannya sama sekali berbeda dari pandangan fiksionalis yang standar. Ini akan jelas di bawahnya, tesis (a) itu masuk akal, dan kemasukakalannya adalah satu dari berbagai alasan utama untuk kepopuleran platonisme. Karena itu, salah satu dari penjualan pendapat/maksud fiksionalisme yang utama adalah jenis fiksionalisme standar yang dijelaskan di atas bahwa ini menggabungkan penerimaan tesis (a) dengan anti platonistic ontology.]
Ketika seseorang pertama kali mendengar tentang hipotesis fiksionalis, hal itu dapat terlihat sedikit gila. Apakah kita sungguh-sungguh disangka akan mempercayai kalimat seperti “3 adalah bilangan prima” dan “2+2=4” adalah sebuah kalimat yang salah? Tapi seruan fiksionalisme mulai muncul ketika kita menyadari apa alternatif/ pilihan itu. Dengan berpikir hati-hati tentang persoalan seputar interpretasi wacana matematika, ini dapat mulai terlihat bahwa fiksionalisme sebenarnya masuk akal dan sungguh-sunguh. Ini mungkin hanya menjadi pandangan gila yang terakhir.
Dalam makalah ini menyajikan formulasi apa kemungkinan gagasan tentang argumen pokok/ utama untuk fiksionalisme yang akan memunculkan diskusi dari sejumlah pandangan berbeda terhadap fiksionalisme, sebaik/ sama seperti sejumlah versi yang berbeda tentang fiksionalisme. Dua hal ini berjalan bersama secara alami, karena perbedaan versi tentang fiksionalisme telah muncul dalam hubungan dengan reaksi/ tanggapan bahwa ahli-ahli filsafat lain telah memberikan bermacam-macam keberatan terhadap fiksionalisme.
1. Argumen/ pendapat terhadap fiksionalisme
1.1 Argumen utama
1.2 Premis (1) dan penafsiran nominalisme
1.3 Premis (2) dan Neo-Meinongianisme
1.4 Premis (4) dan Fisik serta Psikologisme
1.5 Premis (5) dan Platonisme.

1. Argumen/ pendapat terhadap fiksionalisme
1.1 Argumen/ Pendapat Utama
Pendapat utama untuk hasil fiksionalisme yang utama dengan mencoba untuk menghapuskan/ menghilangkan semua alternatif/ pilihan-pilihan. Pendapat tersebut dapat dikatakan seperti ini :
Kalimat matematika seperti “4 adalah bilangan genap” harus dibaca menurut bentuk dasarnya, seperti mereka harus dibaca sebagai bentuk dari “Fa” dan oleh sebab itu, sebagai pembuat pernyataan yang berterusterang/ benar tentang sifat dari benda-benda tertentu, contohnya, “4 adalah bilangan genap” harus dibaca sebagai pembuat pernyataan yang berterus terang/ benar tentang sifat dari angka 4.
Tetapi, jika kalimat-kalimat seperti “4 adalah bilangan genap” harus dibaca menurut bentuk dasarnya, dan jika selain itu mereka (kalimat-kalimat itu) adalah benar, maka harus benar-benar ada benda hidup dari jenis seperti yang disebutkan tadi, misalnya, jika “4 adalah bilangan genap” menjadikan sebuah pernyataan yang benar tentang sifat dari angka 4, dan jika kalimat ini adalah benar secara harfiah, maka harus ada contoh nyata yang mewakili angka 4. Oleh karena itu, dari (1) dan (2), itu menunjukkan bahwa jika kalimat-kalimat seperti “4 adalah bilangan genap” adalah benar, maka harus ada semacam benda sebagai obyek matematika. Tetapi, jika ada semacam benda seperti obyek matematika, maka ada benda-benda abstrak, dengan kata lain, objek/ benda-benda nonspatiotemporal, contohnya, jika ada semacam benda seperti angka 4, maka itu adalah sebuah benda/ objek absrak, bukan benda fisik atau benda mental.
Tidak ada macam benda yang seperti benda abstrak. Oleh karena itu, dari (4) dan (5) dengan menggunakan modus tollens, ini berarti bahwa tidak ada macam benda seperti objek matematika. Sehingga, dari (3) dan (6) dengan menggunakan modus tollens, ini berarti bahwa :
Kalimat seperti “4 adalah bilangan genap” adalah tidak benar (tentu, mereka/ kalimat-kalimat itu tidak benar karena alasan yang diberikan oleh fiksionalis, dan juga itu berarti bahwa fiksionalisme adalah benar).
Tiga kesimpulan pada argumen ini adalah benar-benar sangat valid, dan satu-satunya pertanyaan, apakah empat premis dasar (1), (2), (4), dan (5) adalah benar. Dan sesuatu yang baik tentang arah argumen ini adalah merubah masing-masing premis yang diandaikan/ diharuskan untuk mendapatkan penyelesaian dari sebuah alternatif yang berbeda untuk fiksionalisme. Jadi, argumen pada (1)-(7) adalah benar-benar sebuah kerangka dari sebuah argumen yang cukup panjang yang mencakup subargumen-subargumen yang menyerupai premis-premis dasar sehingga menentang bermacam-macam alternatif untuk fiksionalisme.
Dari hal-hal tersebut, kita dapat mengatakan bahwa lima alternatif (atau jika kamu lebih suka mengatakan, lima kategori alternatif) untuk fiksionalisme. Orang yang menolak alternatif (1) dapat disebut nominalis paraphrase, yang menolak alternatif (2) dapat disebut neo-Meinongians, yang menolak alternatif (4) adalah fisikalis ataupun psikologis, dan yang menolak (5) adalah platonis. Untuk memotivasi pandangan mereka, fiksionalis perlu memberikan argumen-argumen yang dapat melawan semua pandangan-pandangan mereka.
Bagian termudah dari pekerjaan seorang fiksionalis di sini adalah berdebat melawan berbagai pandangan-pandangan anti-Platonis. Semua pandangan parafrase nominalisme, neo-Meinongianisme, fisikalisme, dan psikologisme dapat dipahami (seperti memahami fiksionalisme) sebagai reaksi terhadap Platonisme. Platonisme adalah sebuah pandangan yang sangat menarik karena memberikan catatan/ laporan praktek matematika dan wacana matematika yang sangat alami dan menyenangkan.
Namun meskipun demikian, banyak filsuf/ filosof yang tidak mendukung Platonisme, karena mereka tidak bisa membawa diri untuk menerima ontologinya. Dengan kata lain, mereka hanya tidak percaya bahwa ada hal-hal seperti benda abstrak. Oleh karena ini, banyak pekerjaan yang telah dilakukan dalam filsafat matematika yang telah didedikasikan sebagai upaya untuk menghindari Platonisme. Secara khusus, nominalisme parafrase, neo-Meinongianism, fisikalisme, dan psikologisme, semua dapat dipahami dalam istilah-istilah ini. Mereka semua berusaha untuk merusak pandangan platonistic dari kondisi kebenaran pada kalimat matematika. Tapi hal tersebut akan menjadi jelas di bawah ini, ada masalah serius dengan semua pandangan.
Dan ini adalah dimana fiksionalisme berasal: ia memberikan pandangan platonistic dari kondisi kebenaran pada kalimat matematika tetapi masih menyangkal tesis ontologis Platonis bahwa terdapat benda-benda abstrak. Hal ini membuat fiksionalisme sangat berbeda dari pandangan anti-Platonis lainnya. Kita bisa menghargai ini dengan mencatat bahwa Platonisme melibatkan dua tesis yang berbeda, satu semantik dan ontologis lainnya. Tesis semantik adalah sebuah hipotesis empiris tentang kondisi kebenaran tuturan matematika biasa, dan tesis ontologis adalah sebuah hipotesis yang sangat metafisik tentang keberadaan benda-benda abstrak. Setiap versi anti-Platonisme menolak hipotesis ontologis Platonis, dan semua versi non-fiksionalistik anti-Platonisme juga menolak tesis semantik. Fiksionalisme adalah satu-satunya pandangan anti-platonistik yang tidak menolak tesis semantik. Dan inilah mengapa fiksionalisme bisa tampak lebih menarik daripada versi anti-Platonisme yang lain, karena hipotesis semantik Platonis sangat masuk akal dan termotivasi dengan baik. Dengan demikian, versi dari anti-Platonisme yang menolak hipotesis ini bisa tampak tidak masuk akal dan tidak termotivasi.
Jadi sekali lagi, bagian yang mudah dari argumen untuk fiksionalisme (atau paling tidak, bagian lebih mudah) dilakukan dengan memberikan argumen untuk premis (1), (2), dan (4) atau yang setara, dengan memberikan argumen terhadap berbagai versi non-fiksionalistic anti-Platonisme, yakni, nominalisme parafrase, neo-Meinongianism, fisikalisme, dan psikologisme. Tiga sub bagian berikutnya 7 (1.2-1.4) membahas keempat pandangan sebaik/ seperti beberapa argumen bahwa fiksionalis mungkin berentangan dengan mereka. Bagian 1.5 mencakup bagian yang lebih sulit dari argumen fiksionalis itu, yaitu premis (5) dan pertanyaan tentang bagaimana fiksionalis mungkin bertentangan dengan Platonisme.

1.2 Premis (1) dan Nominalisme Parafrase
Nominalisme parafrase adalah sebuah pandangan dimana kalimat biasa seperti “3 adalah bilangan prima” tidak seharusnya dibaca sebagai bentuk nominal/ dasar atau lebih khusus, bahwa mereka tidak seharusnya dibaca sebagai bentuk 'Fa' dan membuat klaim tentang objek matematika. Ada beberapa versi yang berbeda dari pandangan ini. Mungkin yang paling terkenal adalah if-thenism. Pada pandangan ini, “3 adalah bilangan prima” adalah penafsiran terbaik sebagai pernyataaan sebuah klaim bersyarat, seperti “jika ada angka/ bilangan, maka 3 akan menjadi bilangan prima” atau mungkin “tentu, jika ada angka/ bilangan, maka 3 adalah bilangan prima”. (versi if-thenism telah dikembangkan oleh Putnam (1967a,b) dan Hellman (1989); selain itu, seorang pelopor/ pendahulu pandangan ini telah didukung oleh Hilbert awal (lihat 1899 dan surat-suratnya kepada Frege di Frege 1980).
Masalah dengan pandangan nominalis parafrase adalah sangat sederhana: mereka melibatkan hipotesis empiris mengenai makna tuturan matematika biasa yang sangat tidak masuk akal. Sebagai contoh, sehubungan dengan if-thenism, hanya saja sangat sulit untuk percaya bahwa interpretasi terbaik dari pembicara-pembicara biasa terkait wacana matematika (matematikawan biasa dan rakyat biasa) yang mengatakan, ketika mereka mengucapkan, misalnya, “3 adalah bilangan prima" adalah bahwa jika ada angka-angka maka 3 akan menjadi prima. Ini tampaknya hanya untuk mendapatkan kesalahan apa yang orang benar-benar artikan ketika mereka mengucapkan kalimat seperti ini. Memang, tampaknya bahwa nilai yang lebih umum dapat dibuat di sini. Ada sebuah prinsip penafsiran yang baik yang mengatakan sesuatu seperti ini: kita harus menafsirkan ucapan-ucapan orang pada nilai nominal kecuali ada bukti bahwa mereka memiliki niat positif untuk ditafsirkan secara non-harfiah. Mengingat hal ini dan mengingat (apa yang tampak jelas) bahwa orang-orang biasa tidak memiliki niat positif bagi ucapan-ucapan matematika mereka untuk ditafsirkan secara non-harfiah, misalnya, sebagai pengekspresian proposisi bersyarat atau sesuatu seperti itu, tampaknya perlu menunjukkan bahwa kita harus menafsirkan tuturan matematika kita pada nilai nominal. Tetapi ini berarti bahwa kita harus menerima premis (1) dan menolak nominalis parafrase.
Nominalis parafrase mungkin mencoba untuk menanggapi argumen ini dengan menyangkal bahwa mereka berkomitmen pada tesis bahwa parafrase mereka sesuai dengan niat matematikawan biasa dan rakyat biasa. Dengan kata lain, mereka mungkin mengklaim bahwa pandangan mereka menyangkut hal ini tidak pada apa yang orang biasa sebenarnya maksud dengan ucapan-ucapan matematis mereka, melainkan bagaimana ucapan-ucapan ini harus dipahami atau beberapa hal-hal semacam itu (Chihara membuat klaim seperti itu dalam bukunya pada 2004). Tapi nominalis parafrase tidak dapat mendukung sikap ini, karena jika mereka melakukannya, pandangan mereka akan runtuh ke dalam versi fiksionalisme.
Jika nominalis parafrase mengakui bahwa Platonis dan fiksionalis benar tentang makna dari ucapan-ucapan matematika nyata, yaitu ucapan-ucapan aktual matematikawan maka (karena mereka juga ingin mempertahankan bahwa tidak ada hal-hal/ benda-benda sebagai obyek abstrak) mereka akan berkomitmen untuk mengklaim bahwa ucapan-ucapan dari ahli matematika yang sebenarnya tidak benar. Jadi, jika nominalis parafrase tidak mengklaim bahwa parafrase mereka menangkap makna sebenarnya dari kalimat matematika biasa, maka pandangan mereka tidak akan memberikan alternatif yang tulus untuk fiksionalisme. Ini akan runtuh menjadi versi fiksionalisme. Lebih khusus, seorang nominalis parafrase hanya akan menjadi fiksionalis yang berpikir bahwa kita harus mengubah bahasa matematika kita, atau apa yang kita maksud dengan ucapan-ucapan matematika kita, atau mungkin klaim tersebut hanya akan menjadi sederhana bahwa kita bisa mengubah bahasa matematika kita jika kita menginginkannya dan fakta ini memberikan fictionalis suatu cara menanggapi keberatan tertentu.

1.3 Premis (2) dan Neo-Meinongianisme
Neo-Meinongianism adalah pandangan bahwa (a) sebagai Platonis dan fictionalis mempertahankan kalimat matematika biasa seperti “3 adalah bilangan prima” harus dibaca pada nilai nominalnya/ bentuk dasarnya, yaitu, sebagai bentuk “Fa” dan karenanya seperti membuat klaim/ pernyataan tentang objek matematika, dan (b) tidak ada hal-hal seperti objek matematika, tetapi (c) kalimat matematika kita masih benar. Pandangan semacam ini telah didukung oleh Routley (1980), Azzouni (1994, 2004), Imam (2003, 2005), dan Bueno (2005).
Sebelum menguraikan masalah dengan neo-Meinongianisme, penting untuk dicatat bahwa pernyataan utama di balik pandangan itu adalah suatu hipotesis empiris mengenai wacana biasa. Secara khusus, ini adalah klaim/ pernyataan tentang arti 'benar', atau konsep kebenaran. Ketika neo-Meinongians mengatakan bahwa, misalnya, “3 adalah bilangan prima” bisa benar bahkan jika tidak ada hal/ benda seperti angka 3, mereka membuat klaim/ pernyataan tentang konsep biasa pada kebenaran. Mereka mengatakan bahwa konsep yang berlaku dalam situasi tertentu yang sebagian besar dari kita -Platonis dan fiksionalis dan hanya tentang orang lain- berpikir itu tidak berlaku. Jika neo-Meinongianism mencoba untuk menyangkal bahwa mereka membuat sebuah klaim/ pernyataan tentang konsep biasa tentang kebenaran, maka pandangan mereka akan runtuh ke dalam versi fiksionalisme. Sejak saat mereka setuju dengan fictionalis bahwa “3 adalah bilangan prima” dimaksudkan untuk menjadi objek abstrak tertentu, dan sejak saat itu mereka juga setuju bahwa tidak ada hal-hal seperti benda abstrak, itu menunjukkan bahwa jika mereka mendukung sebuah pandangan standar tentang kebenaran, yaitu, pandangan Platonis-fiksionalis sesuai dengan sebuah kalimat dari bentuk “Fa” tidak bisa benar, kecuali jika 'a' menunjukkan ke objek/ benda yang benar-benar nyata maka mereka harus mengakui bahwa kalimat “3 adalah bilangan prima” adalah tidak benar. Sekarang, mereka mungkin menuju untuk berpendapat bahwa kalimat-kalimat ini adalah benar *-dimana hal ini didefinisikan sedemikian rupa sehingga kalimat dari bentuk “Fa” dapat menjadi benar* bahkan jika tidak ada hal/ benda semacam itu, tentu saja, fictionalis akan setuju dengan hal ini. Jadi, jika neo-Meinongianisme benar-benar berbeda dari fiksionalisme, itu harus melibatkan sebuah tesis tentang arti dari kata “benar”; pada khususnya, klaim/ pernyataan harus menjadi bahwa kalimat bentuk “Fa” dapat benar, dalam arti istilah biasa, bahkan jika istilah tunggal “a” tidak mengacu kepada apapun.
Dari hal-hal tersebut, sebagian besar fictionalis mungkin akan mengatakan bahwa masalah dengan Neo-Meinongianisme adalah suatu hal yang tidak masuk akal secara empiris. Dengan kata lain, keberatan akan mengarah pada hal bahwa neo-Meinongianism terbang buruk dalam menghadapi intuisi kita tentang arti “benar”. Dan tampaknya ada beberapa pembenaran untuk klaim ini. Sebagai contoh, sepertinya jelas secara intuitif bahwa kalimat “Mars adalah sebuah planet" tidak bisa benar secara harfiah, kecuali ada hal/ benda yang benar-benar seperti Mars. Jika ini benar, maka tesis neo-Meinongianism semantik bertentangan dengan intuisi semantik kita sehingga hal ini memberikan bukti kuat untuk berpikir bahwa itu salah.
Tapi juga terdapat masalah kedua dengan neo-Meinongianisme: yang seharusnya memberikan kita cara menghindari Platonisme, namun pada kenyataannya, tidak. Prima facie, mungkin tampak bahwa neo-Meinongianism benar-benar memberikan cara untuk menghindari Platonisme, karena argumen untuk Platonisme mungkin tampaknya mengandalkan pada premis (2) di atas yakni, mungkin tampaknya mengandalkan pada klaim anti neo-Meinongian bahwa jika kalimat seperti “4 adalah bilangan genap” harus dibaca sesuai nilai nominalnya/ bentuk dasarnya, yaitu, sebagai bentuk “Fa”, dan jika kalimat ini benar secara harfiah, maka kami berkomitmen untuk mempercayai kepada objek yang mereka bicarakan, misalnya angka 4.
Namun, dalam kenyataannya, Platonis dapat merumuskan argumen mereka sehingga tidak bergantung pada premis anti neo-Meinongian ini. Untuk menunjukkan hal ini, mari kita mulai dengan memperkenalkan dua persyaratan baru dari suatu seni “true1” dan “true2” dan menetapkan bahwa “true1” diambil sebagai bentuk pengekspresian konsep Platonis-fiksionalis dari kebenaran, sehingga kalimat dari bentuk “Fa” tidak dapat menjadi “true1” kecuali “a” sebenarnya merujuk pada sesuatu, sedangkan “true2” mengungkapkan sebuah konsep kebenaran neo-Meinongian, sehingga kalimat dari bentuk “Fa” dapat menjadi “true2” bahkan jika “a” tidak mengacu apa-apa. Mengingat hal ini, Platonis dapat berkata sebagai berikut:
Kami hanya tidak peduli apakah kata “true (benar)”, seperti digunakan dalam bahasa Inggris biasa, mengekspresikan kebenaran1 atau kebenaran2 (atau apakah itu ambigu dan kadang-kadang mengungkapkan suatu konsep dan kadang-kadang yang lain). Memang benar bahwa formulasi standar argumen untuk Platonisme melibatkan klaim yang menyatakan bahwa kalimat matematika biasa seperti “3 adalah bilangan prima" adalah benar. Tapi kita bisa dengan mudah mendasarkan argumen kita pada klaim/ pernyataan bahwa kalimat seperti itu adalah “true1”. Dalam melakukan hal ini, kita tidak akan melemahkan argumen kita dengan cara apapun. Karena argumen yang kita gunakan untuk memotivasi kebenaran matematika, terutama argumen indispensability Quine-Putnam yang dibahas di bawah adalah argumen untuk kebenaran1 matematika. Dan ini seharusnya tidak mengejutkan, karena ketika kita mengatakan bahwa kalimat matematika biasa seperti “3 adalah bilangan prima" adalah benar, apa yang kita maksud adalah bahwa mereka adalah true1, maka, tentu saja, argumen yang kita berikan untuk kebenaran matematika adalah yang sudah seharusnya menjadi argumen untuk kebenaran1 matematika.
Mengingat bahwa Platonis dapat melanjutkan cara ini, tampaknya pertanyaan apakah tesis semantik neo-Meinongian adalah benar, yaitu pertanyaan apakah kata Inggris “true/benar” mengungkapkan konsep dari kebenaran1 atau kebenaran2 hanyalah sebuah red herring/ ikan merah. Pertanyaan sebenarnya adalah apakah Platonis memiliki beberapa argumen yang baik untuk truth1/ kebenaran1 dari matematika (dan tentu saja, apakah anti-Platonis memiliki argumen yang baik untuk menentang truth1 matematika). Dengan kata lain, jika kita berasumsi bahwa premis (1) dan (4) adalah benar, sehingga kita harus membaca klaim matematika kita sebagai sesuatu tentang (atau setidaknya yang mengaku tentang) benda-benda abstrak, maka pertanyaan sesungguhnya adalah apakah ada alasan yang baik untuk memilih antara Platonisme dan fiksionalisme.

1.4 Premis (4) dan Fisikalisme and Psikologisme
Fisikalisme adalah pandangan bahwa kalimat matematika dan teori-teori kita merupakan benda-benda fisik biasa. John Stuart Mill (1843) mengembangkan sebuah pandangan semacam ini. Dalam pandangannya, matematika hanyalah sebuah ilmu alam yang sangat umum. Jadi, misalnya, menurut Mill, kalimat “2 +3 = 5” bukan klaim/ pernyataan tentang benda abstrak (angka 2, 3, dan 5), melainkan adalah klaim tentang tumpukan benda-benda fisik (khususnya, itu memberitahu kita bahwa jika kita mendorong sebuah tumpukan dua objek/ benda bersama dengan sebuah tumpukan tiga obyek/ benda, kita akan mendapatkan sebuah tumpukan lima objek/ benda. (Philip Kitcher (1984) dan Penelope Maddy awal (1990) juga mendukung pandangan dengan “kecenderungan psikalistik", namun pada akhirnya, juga tidak masuk akal jika diartikan dengan jatuh ke kelompok ini. Pandangan awal Maddy lebih baik dianggap sebagai semacam non-tradisional dari Platonisme, karena menurut pandangan ini, matematika adalah tentang benda-benda nonfisik yang muncul dalam ruang dan waktu, dan pandangan Kitcher adalah pikiran terbaik sebagai sejenis nominalisme parafrase, karena dalam pandangannya, tuturan matematika ternyata tidak akan mengenai obyek sebenarnya ada).
36.0j�ieH� �50%'>Argumentasi Epistemologi sangat sederhana. Hal itu didasarkan pada gagasan di mana, menurut Platonisme, pengetahuan tentang Matematika adalah pengetahuan obyek abstrak. Argumentasi ini tidak bisa memperoleh pengetahuan tentang obyek abstrak berproses, sebagai berikut : - Manusia ada di dalam ruang dan waktu. - Obyek abstrak, berada di luar ruang dan waktu. - Oleh karena itu, nampak manusia tidak mudah memperoleh pengetahuan obyek abstrak.
Ada tiga jalan Platonists untuk menanggapi argumentasi ini. (1), mereka dapat menolak (2), atau mereka dapat menerima. (3) menjelaskan, meskipun tidak jelas. Platonist yang menolak (1) memelihara pikiran manusia bahwa fisik mampu untuk menghubungkan obyek abstrak dengan demikian memperoleh informasi tentang apakah obyek itu. Strategi ini telah dikejar oleh Plato dan Godel. Menurut Plato, orang-orang mempunyai jiwa tidak penting, dan kelahiran jiwa mereka memperoleh pengetahuan obyek abstrak sedemikian sehingga pelajaran matematika sungguh sekedar proses.
Menurut Godel, manusia memperoleh informasi tentang obyek abstrak atas pertolongan suatu panca indera. Ilmu Matematika hampir sama di mana informasi tentang obyek fisik diperoleh melalui perasaan. Platonis yang menolak (2) mengubah pandangan bersifat persatuan yang tradisional dan memelihara bahwa walaupun memisahkan object adalah bukan fisik dan bukan benda, mereka masih ditempatkan pada ruang dan waktu tertentu, oleh sebab itu menurut pandangannya, pengetahuan object abstrak dapat diperoleh melalui perasaan biasa. Maddy mengembangkan gagasan ini dalam hubungan dengan keputusan.
Dia mengklaim bahwa satuan obyek yang berupa bentuk fisik terletak dimanapun, oleh karena itu, orang-orang dapat merasa, melihat, mencicip dan seterusnya. Sebagai contoh, umpamakan Maddy sedang memperhatikan tiga telur. Menurut pandangannya, dia dapat melihat tidak hanya ketiga telur tetapi menetapkan isinya. Seperti itu, dia mengetahui bahwa telur adalah putih. Platonis yang menerima kedua-duanya (1) dan (2) menyangkal bahwa manusia mempunyai beberapa macam kontak dengan object abstrak yang diusulkan oleh Plato, Godel dan Maddy. Platonis masih berpikir bahwa manusia dapat memperoleh pengetahuan object abstrak. Pengetahuan abstrak matematik memperoleh bukti untuk kebenaran dari teori ilmiah empiris mereka. Bukti ini menyediakan alasan untuk percaya. Semua tentang ilmu pengetahuan empiris, dan ilmu pengetahuan tentang obyek matematika.
Pendekatan lain yang dikembangkan oleh Resnik dan Shapiro, untuk mengakui bahwa manusia dapat memperoleh pengetahuan matematika secara struktur dan pertolongan pancaindera. Mereka mengakui struktur matematika itu tak lain hanya membuat pola dan manusia dengan jelas mempunyai kemampuan untuk merumuskannya. Strategi yang lain Platonisme didasarkan pada klaim Platonis adalah benar. Kemudian pengetahuan obyek abstrak dapat diperoleh tanpa bantuan segala kontak interaksi dengan obyek tersebut. Khususnya pengetahuan obyek abstrak bisa diperoleh melalui dua metode (yang sesuai dengan metodologi para ahli matematik yang nyata): pertama menetapkan struktur matematika yang menandai struktur dan kedua, menyimpulkan fakta tentang struktur ini dengan pembuktian dalil. Sebagai contoh, jika para ahli matematika ingin belajar urutan bilangan bulat positif, mereka dapat mulai dengan merinci strukturnya. Di sini Platonis dapat memelihara kelanjutan dengan cara ini.
Para ahli matematika memperoleh pengetahuan obyek abstrak tanpa bantuan informasi dengan obyek yang diteliti. Tanpa Platonisme ini tidak bisa, sebab tradisi Platonis tidak punya jawaban bagi pertanyaan. "Bagaimana cara para ahli matematika mengetahui sistem aksioma yang tersebut dalam dunia matemalika. Platonists mengatakan bahwa ketika para ahli matematika meletakkan sistem aksioma pada dunia matematika, mereka dapat memperoleh pengetahuan itu hanya dengan membuktikan dalil dari aksioma yang diberikan.

KESIMPULAN
 Tanpa persetujuan tersebar luas, fictionalists dapat berhasil menjawab ketidakmampuan berpendapat. Tanpa persetujuan tersebar luas Platonists dapat bereaksi terhadap pendapat tersebut. Keduanya Platonism dan Fictionalism dapat dengan sukses melindungi semua argumentasi yang tradisional. Ingat bahwa Platonism dan Fictionalism bermufakat bagaimana ilmu matematika harus ditafsirkan, keduanya berpandangan setuju bahwa matematika itu harus ditafsirkan sebagai hal yang menyatakan tentang obyek abstrak. Pada pertanyaan apakah obyek abstrak ada dan suatu pengujian tentang pertanyaan untuk menerima atau menolak. Sesungguhnya manusia pada prinsipnya mengetahui ada hal-hal seperti memisahkan obyek. Penulis nampak ragu-ragu yang mana suatu jawaban benar ada. Karena itu dapat berargumentasi bahwa konsep dan suatu obyek abstrak menjadi sangat belum jelas. 

PLATONISME DALAM FILSAFAT MATEMATIKA

0 komentar


PLATONISME DALAM FILSAFAT MATEMATIKA

Pendahuluan
Platonisme tentang matematika (atau Platonisme Matematika) adalah pandangan metafisik tentang adanya benda abstrak matematika yang keberadaannya independen dari kita dan bahasa, pola pikir, dan praktik. Sama halnya elektron dan planet-planet keberadaannya independen dari kita, begitu juga angka dan himpunan. Dan seperti pernyataan-pernyataan tentang elektron-elektron dan planet-planet yang dibuat benar atau salah oleh benda-benda terkait dan sifat benda-benda obyektif ini sempurna, begitu juga pernyataan tentang angka dan himpunan. Kebenaran matematika itu kemudian ditemukan, bukan diciptakan.
Argumen yang paling penting tentang keberadaan benda-benda abstrak mate-matika berasal dari Gottlob Frege dan hilang begitu saja (Frege 1953). Bahasa matematika dimaksudkan untuk mengacu dan menghitung banyaknya benda-benda abstrak matematis. Dan sejumlah teorema matematika adalah benar. Tetapi kalimat tidak dapat dinyatakan benar, kecuali jika sub-ekspresi berhasil melakukan apa yang mereka maksudkan untuk dilakukan. Jadi terdapat obyek abstrak matematika yang ungkapan ini mengacu dan menghitung banyaknya benda-benda abstrak matematis.
Termasuk Argumen Frege, beberapa filsuf telah mengembangkan berbagai keberatan terhadap Platonisme matematika. Dengan demikian, obyek abstrak matematika yang diklaim menjadi epistemologis dan secara metafisis bermasalah/ meragukan. Platonisme Matematika menjadi topik perdebatan yang paling hangat dalam filsafat matematika selama beberapa dekade terakhir.
Makalah ini membahas mengenai:
1. Apakah Platonisme Matematika?
1.1 Sejarah Komentar
1.2 Signifikan filosofi Platonisme matematika
1.3 Anti nominalisme
1.4 Nilai Kebenaran realisme
1.5 Pentingnya Platonisme matematika
2. Argumen Fregean tentang keberadaan
2.1 Struktur Argumen
2.2 Pertahanan Semantik Klasikal
2.3 Pertahanan Kebenaran
2.4 Gagasan Komitmen Ontologis
3. Keberadaan dalam Platonisme Matematika
3.1 Keabstrakan
3.2 Keindependenan
4. Keberatan untuk Platonisme Matematika
4.1 Akses Epistemologi
4.2 Keberatan Metafisikal
4.3 Keberatan Metafisikal yang lain


1. Apakah Platonisme Matematika?
Platonisme Matematika dapat didefinisikan sebagai gabungan dari tiga tesis/pernyataan berikut:
Keberadaan : Adanya benda-benda matematis.
Keabstrakan : Objek matematika yang abstrak.
Independen : Objek matematika adalah independen dari tingkat kecerdasan dan bahasa, pola pikir, dan praktik.
Platonisme pada umumnya (sebagai lawan Platonisme tentang matematika khusus) adalah suatu pandangan yang muncul dari ketiga tesis/pernyataan di atas dengan mengganti kata sifat 'matematika' oleh kata sifat lainnya. Dua hal pertama dari klaim di atas cukup jelas untuk tujuan ini. Keberadaan yang dinotasikan oleh 'xMx' dengan 'Mx' sebagai predikat dan 'x adalah obyek matematika' yang semuanya benar dan hanya objek yang dipelajari oleh matematika murni, seperti angka, himpunan, dan fungsi. Keabstrakan mengatakan bahwa setiap objek matematika adalah abstrak, di mana suatu obyek dikatakan abstrak hanya dalam kasus non-spatiotemporal.
Keindependenan kurang jelas dari dua klaim lainnya. Apa artinya anggapan ini semacam independen kepada suatu objek? Yang mungkin paling jelas adalah kontrafakta bersyarat obyek matematis yang telah ada sebelum adanya tingkat kecerdasan, atau memiliki bahasa, pemikiran, atau praktik berbeda. Hal ini diragukan bahwa dalam melakukan pekerjaan, independe seharusnya dilakukan. Pada kesempatan ini, independen akan agak ditinggalkan sebagai skematis.

1.1 Ulasan Sejarah
Platonisme harus dibedakan dari pandangan Plato sejarah. Beberapa pihak dalam perdebatan kontemporer tentang Platonisme membuat klaim penafsiran yang kuat tentang pandangan Plato. Meskipun pandangan yang kita sebut 'Platonisme' ter-inspirasi oleh teori terkenal Plato tentang bentuk-bentuk abstrak dan kekal, Platonisme sekarang didefinisikan dan diperdebatkan secara independen dari inspirasi asli sejarah.
Tidak hanya Platonisme yang menjadi pembahasan Plato, Platonisme seperti yang dicirikan di atas adalah pandangan murni metafisik: ia harus dibedakan dari pandangan lain yang memiliki kandungan epistemologis substantif. Banyak karakterisasi yang lebih tua tentang Platonisme yang menambah kuat klaim epistemologis untuk menyatakan bahwa kita memiliki beberapa pegangan langsung, atau wawasan, alam benda abstrak. Tetapi itu berguna untuk 'Platonisme' sebagai pandangan murni metafisik yang dijelaskan di atas. Banyak filsuf yang membela Platonisme dalam pengertian metafisik murni akan menolak klaim tambahan epistemologis. Contohnya termasuk filsuf Quine dan pengikutnya menyebut argumen indispensabilitas (yang seharusnya ada), yang dimaksudkan untuk memberikan pembelaan empiris yang luas pada Platonisme matematika.
Akhirnya, definisi 'Platonisme matematika' di atas tidak termasuk klaim bahwa semua kebenaran matematika murni diperlukan, walaupun pernyataan ini secara tradisional telah dibuat oleh kebanyakan Platonis. Sekali lagi, pengecualian ini di-benarkan oleh kenyataan bahwa beberapa filsuf yang umumnya dianggap sebagai Platonis (misalnya, Quine dan beberapa penganut argumen indispensabilitas tersebut) menolak bentuk klaim tambahan.

1.2 Signifikansi Filosofis Platonisme Matematika
Platonisme Matematika memiliki arti filosofis yang dapat dipertimbangkan. Jika itu benar, itu akan memberikan tekanan besar pada gagasan fisikalis bahwa realitas akan habis oleh fisik. Platonisme mensyaratkan realitas yang meluas jauh melampaui dunia fisik dan termasuk benda-benda yang bukan merupakan bagian dari sebab akibat dan urutan spatiotemporal yang dipelajari oleh ilmu-ilmu fisik. Platonisme Matematika, jika benar, juga akan memberikan tekanan besar pada teori naturalistik suatu pengetahuan. Ada sedikit keraguan bahwa kita memiliki pengetahuan matematika. Oleh karena itu, Platonisme Matematika menetapkan bahwa kita memiliki pengetahuan tentang objek-objek abstrak. Ini akan menjadi penemuan penting, banyak teori naturalistik dari pengetahuan akan berusaha untuk mengakomodasinya.
Meskipun konsekuensi filosofis tidak tunggal bagi Platonisme Matematika, ini bentuk khusus dari Platonisme yang luar biasa cocok untuk mendukung kon-sekuensi tersebut. Matematika merupakan disiplin ilmu yang berhasil, baik dalam matematika itu sendiri maupun sebagai alat untuk ilmu-ilmu lainnya. Beberapa filsuf analitik kontemporer bersedia untuk menentang salah satu klaim inti dari disiplin yang kredensial ilmiah sekuat yang terdapat di matematika (Lewis, 1991, hlm 57-9). Jadi, jika analisis filosofis menunjukkan matematika memiliki beberapa konsekuensi yang aneh dan mengejutkan, itu akan tidak hanya menarik untuk menolak matematika. Suatu bentuk Platonisme berdasarkan disiplin kredensial ilmiah yang kurang mengesankan dibandingkan matematika tidak akan berada dalam situasi beruntung. Sebagai contoh, jika teologi ternyata memiliki beberapa konsekuensi filosofis aneh dan mengejutkan, banyak filsuf tidak akan ragu untuk menolak bagian yang relevan pada teologi.

1.3. Anti-nominalisme
Dalam filsafat kontemporer, nominalisme biasanya didefinisikan sebagai pandangan bahwa tidak ada benda abstrak. (Dalam kebanyakan filosofis tradisional, penggunaan kata 'nominalisme' merujuk bukan untuk pandangan bahwa tidak ada universal. Lihat Burgess. & Rosen 1977, hlm 13-25 dan entri pada objek abstrak.). Anti-nominalisme adalah lawan dari nominalisme, yaitu klaim tentang adanya benda-benda abstrak. Anti-nomilisme tentang matematika yang demikian hanya menghubungkan keberadaan dan keabstrakan. Karena anti-nominalisme melepaskan keindependenan, maka secara logika lebih lemah dari Platonisme matematika.
Konsekuensi filosofis anti-nominalisme tidak sekuat Platonisme. Banyak filsuf akan menerima benda-benda non-fisik asalkan tergantung atau direduksi menjadi benda-benda fisik. Mereka mungkin menerima objek seperti misalnya perusahaan, hukum, dan puisi, asalkan bahwa ini adalah sesuai tergantung atau direduksi menjadi benda-benda fisik. Selain itu, tampaknya tidak ada misteri tentang akses epistemis ke benda-benda non-fisik yang kita miliki tentang bagaimana membuat atau 'membentuk'. Jika perusahaan, hukum, dan puisi yang dibuat atau 'dibentuk' oleh kami, kiranya kita mendapatkan pengetahuan dari mereka dalam proses pembuatan atau 'pembentukan' tersebut.
Beberapa pandangan dalam filsafat matematika adalah anti-nominalis tanpa menjadi Platonis. Salah satu contoh adalah pandangan intuisionis tradisional, yang menegaskan keberadaan benda-benda matematis tetapi mempertahankan bahwa benda-benda tergantung pada atau dibentuk oleh matematikawan dan kegiatan mereka.
1.4. Nilai Kebenaran Realisme
Nilai kebenaran realisme adalah pandangan bahwa setiap pernyataan matematika yang disusun dengan baik memiliki kebenaran yang unik dan nilainya yang tidak tergantung pada apakah itu dapat diketahui oleh kita dan apakah logis berdasar teori-teori matematika saat ini. Pandangan ini juga menyatakan bahwa kebanyakan pernyataan matematika yang dianggap benar adalah sebenarnya benar. Jadi, nilai kebenaran realisme jelas pandangan metafisik. Tetapi tidak seperti Platonisme, itu bukan merupakan pandangan ontologis. Karena meskipun klaim nilai kebenaran realisme bahwa kebenaran pernyataan matematika yang unik dan nilai kebenaran yang objektif, tidak berkomitmen untuk berciri khas pada Platonis bahwa aliran kebenaran-nilai dari obyek ontologi matematika.
Matematika Platonisme jelas memotivasi nilai kebenaran realisme dengan memberikan penjelasan tentang bagaimana pernyataan matematika mendapatkan kebenaran nilai-nilai mereka. Tetapi lebih lanjut, premis akan diperlukan untuk pembentukan pandangan berikutnya. Karena jika ada benda matematis, ketidakpastian referensial dan perhitungan dapat menghilangkan nilai kebenaran pernyataan matematika yang unik dan obyektif. Sebaliknya, nilai kebenaran realisme tidak dengan sendirinya memerlukan Keberadaan dan berimplikasi bahwa bukan anti-nominalisme maupun Platonisme. Karena ada berbagai akun tentang bagaimana pernyataan matematika dapat memiliki kebenaran yang unik dan nilai kebenaran objektif yang tidak menempatkan sebuah objek matematika yang real.
Faktanya, banyak nominalis mendukung nilai kebenaran realisme, setidaknya kebanyakan cabang dasar tentang matematika, seperti aritmatika. Nominalis jenis ini berkomitmen pada pandangan yang terdengar agak aneh, meskipun pernyataan matematis biasa.

(1) Ada bilangan prima antara 10 dan 20
Adalah benar, sebenarnya tidak benda matematis dan secara khusus tidak ada bilangan. Tetapi ada kontradiksi di sini. Kita harus membedakan antara bahasa LM yang dibuat oleh matematikawan dan bahasa LP yang dibuat oleh nominalis dan filsuf lainnya. Pernyataan (1) dibuat dalam LM. Namun pernyataan nominalis bahwa (1) adalah benar, tetapi bahwa tidak ada benda abstrak yang dibuat di LP. Pernyataan nominalis disajikan secara sempurna bahwa (1) diterjemahkan non-homophonis dari LM ke LP. Dan memang, ketika klaim nominalis bahwa nilai kebenaran kalimat dari LM adalah tetap tanpa pendekatan objek matematika, ini justru semacam terjemahan non-homoponik dalam pikiran. Pandangan dijelaskan pada catatan sebelumnya memberikan contoh.
Hal ini menunjukkan bahwa klaim “keberadaan” memiliki efek yang diinginkan, maka harus dinyatakan dalam bahasa LP yang digunakan oleh filsuf. Jika klaim itu terungkap dalam bahasa LM yang digunakan oleh ahli matematika, maka nominalis bisa menerima klaim tersebut saat masih menyangkal bahwa ada benda matematis, bertentangan dengan tujuan klaim.
Sebuah tradisi kecil tetapi penting dimana filsuf mendesak agar perdebatan tentang Platonisme harus diganti atau paling tidak berubah menjadi perdebatan tentang nilai kebenaran realisme. Salah satu alasan yang mendukung pandangan ini adalah bahwa perdebatan sebelumnya tanpa harapan jelas, sedangkan yang selanjutnya lebih penurut (Dummett 1978a, pp. 228-232 dan Dummett 1991b, hlm 10-15). Alasan lain yang ditawarkan adalah bahwa perdebatan tentang nilai ke-benaran realisme adalah lebih penting bagi filsafat dan matematika dibandingkan tentang Platonisme.
1.5 Pentingnya Matematis Platonisme
Bekerja realisme adalah pandangan metodologis bahwa matematika harus dipraktekkan seolah-olah Platonisme telah benar (Bernays 1935, Shapiro 1997, hal 21-27 dan 38-44). Hal ini memerlukan penjelasan. Dalam perdebatan tentang dasar-dasar matematika Platonisme telah sering digunakan untuk membela metode matematis tertentu, seperti berikut ini.
Bahasa klasikal (atau lebih kuat) yang tunggal syarat dan bilangan tampaknya mengacu dan berkisar pada banyaknya benda-benda matematis. (Hal ini kontras dengan bahasa yang mendominasi sebelumnya dalam sejarah matematika, yang mengandalkan lebih banyak pada konstruktif dan bentuk kosakata).

Klasikal berbeda dengan logika intuitionistik.
Metode non-konstruktif (seperti bukti adanya non-konstruktif) dan aksioma non-konstruktif (seperti aksioma pilihan). Definisi Impredikatif (yaitu, definisi yang menghitung lebih dari satu totalitas objek yang didefinisikan sebagai anggotanya). 'Optimisme Hilbertian' yaitu keyakinan bahwa setiap masalah matematika pada prinsipnya dapat dipecahkan.
Menurut bekerja realisme, ini dan metode klasikal lain dapat diterima dan tersedia di semua penalaran matematika. Tetapi bekerja realisme tidak menyimpulkan apakah metode ini memerlukan pertahanan filosofis, dan jika demikian, apakah pertahanan ini harus didasarkan pada Platonisme. Singkatnya, di mana Platonisme adalah pandangan filosofis secara eksplisit, bekerja realisme adalah sebuah pan-dangan pertama dan utama dalam matematika itu sendiri tentang metodologi yang benar dari disiplin ilmu ini. Platonisme dan bekerja realisme adalah pandangan yang berbeda.
Apakah ada hubungan logis antara dua pandangan? Mengingat asal dari bekerja realisme, tidak mengherankan bahwa pandangan ini menerima dukungan yang kuat dari Platonisme matematika. Asumsikan bahwa Platonisme matematika adalah benar. Kemudian jelas bahasa matematika seharusnya seperti yang dijelaskan dalam (i). Kedua, asalkan sah untuk alasan klasikal tentang setiap bagian independen dari realitas yang ada, (ii) juga akan mengikuti. Ketiga, karena Platonisme memastikan bahwa matematika itu ditemukan bukan diciptakan, maka tidak akan ada kebutuhan bagi matematikawan untuk membatasi diri pada metode konstruktif dan aksioma, yang menetapkan (iii). Keempat, ada argumen yang kuat dan berpengaruh karena Godel (1944) bahwa definisi impredikatif adalah sah apabila ada objek yang didefinisikan secara independen dari definisi kita. (Misalnya, muncul 'anak tertinggi di' kelas' bermasalah meskipun impredikatif). Jika ini benar, maka (iv) akan mengikuti. Akhirnya, jika matematika adalah tentang keberadaa beberapa realitas yang independen, maka setiap masalah matematika memiliki jawaban yang unik dan menentukan, yang menyediakan setidaknya beberapa motivasi untuk optimisme Hilbertian.
Oleh karena itu, Kebenaran Platonisme Matematika akan memiliki konsekuensi penting dalam matematika itu sendiri. Ini akan membenarkan metode klasik yang terkait dengan bekerja realisme dan mendorong pencarian aksioma baru untuk menyelesaikan pertanyaan-pertanyaan (seperti Hipotesis Continuum) yang dibiar-kan terbuka oleh teori matematika kita saat ini.
Namun, bekerja realisme tidak menyiratkan dalam cara Platonisme yang jelas. Meskipun bekerja realisme mengatakan bahwa kita dibenarkan dalam menggunakan bahasa platonistik dalam matematika kontemporer, membagi Platonisme setidaknya dalam dua cara. Seperti uraian di atas nilai kebenaran realisme menunjukkan, bahasa platonistik matematika dapat dianalisis sedemikian rupa untuk menghindari referensi dan kuantifikasi atas benda matematis. Selain itu, bahkan jika analisa nilai wajah bahasa matematika bisa dibenarkan, apa yang anti-nominalisme akan mengikuti, bukan Platonisme. Sebuah argumen tambahan akan diperlukan untuk komponen ketiga dari Platonisme, yaitu, independen.

2. Argumen Fregean tentang Keberadaan
Berikut ini adalah sebuah template dari sebuah argumen tentang keberadaan benda-benda matematis. Sejak filsuf pertama yang mengembangkan sebuah argumen dari bentuk umum Frege, maka disebut sebagai argumen fregean. Tetapi template bersifat umum dan abstrak jauh dari aspek-aspek Fregean itu sendiri yang sebagian besar tentang keberadaan obyek matematika, seperti pandangannya bahwa aritmetika ini diturunkan ke logika. Logisisme Fregean adalah salah satu cara di mana template ini dapat dikembangkan; beberapa cara lain akan disebutkan di bawah ini.

2.1 Struktur Argumen
Argumen fregean didasarkan pada dua premis, yang pertama menyangkut semantik bahasa matematika:

Semantik klasikal.
Istilah tunggal dari bahasa matematika dimaksudkan untuk merujuk ke objek matematika, dan urutan bilangan pertamanya dimaksudkan untuk kisaran atas benda tersebut.
Kata "pemaknaan" perlu dijelaskan. Ketika sebuah kalimat S dimaksudkan untuk merujuk atau mengukur dengan cara tertentu, ini berarti bahwa agar S bernilai benar, S harus berhasil dengan mengacu atau mengukur dengan cara ini. Premis kedua tidak memerlukan banyak penjelasan:
Kebenaran Kebanyakan kalimat yang diterima sebagai teorema matematika adalah benar (terlepas dari struktur sintaksis dan semantik).
Pertimbangan kalimat yang diterima sebagai teorema matematika dan yang mengandung satu atau lebih istilah matematika tunggal. Dengan kebenaran, kebanyakan dari kalimat ini adalah benar. Biarlah S menjadi satu kalimat tersebut. Dengan semantik klasik, kebenaran S memerlukan kerangka tunggal yang berhasil dengan mengacu pada obyek matematika. Oleh karena itu harus ada obyek matematika, seperti yang dituntut oleh keberadaan.

2.2 Mempertahankan Semantik Klasikal
Semantik klasikal mengklaim bahwa redaksi bahasa pada fungsi matematika sama seperti bahasa dalam fungsinya umum (atau setidaknya secara tradisional telah dianggap fungsi): Istilah tunggal dan pembilang dari fungsi semantik adalah, masing-masing, untuk menyebut benda dan untuk rentang suatu objek. Ini adalah klaim empiris yang luas mengenai kerja bahasa semi-formal yang digunakan oleh masyarakat matematikawan profesional. (Diadopsi secara luas dalam terminologi Burgess & Rosen 1997, hal 6-7, Semantik klasikal adalah klaim hermeneutik, yang merupakan pernyataan deskriptif tentang bagaimana bahasa tertentu sebenarnya digunakan, bukan klaim normatif tentang bagaimana bahasa ini seharusnya digunakan). Perhatikan juga bahwa semantik klasikal lebih kompatibel dengan kebanyakan pandangan tradisional yang semantik, pada khususnya, itu adalah kompatibel dengan semua pandangan standar pada makna kalimat, yang merupakan nilai kebenaran, proposisi, atau himpunan dari kemungkinan dunia.
Semantik klasikal sangat masuk akal. Untuk bahasa matematika secara kuat, tampaknya memiliki struktur semantik yang sama seperti bahasa non-matematika biasa. Seperti Burgess (1999) mengamati, dua kalimat berikut ini tampaknya memiliki struktur semantik yang sama sederhananya dari sebuah predikat yang berasal dari subjek (p.288).
(4) Kesebelasan adalah formal.
(5) Sebelas adalah bilangan prima.
Pandangan ini juga dibuktikan oleh analisis semantik standar yang diusulkan oleh ahli bahasa dan para ahli semantik. Namun demikian, Semantik klasikal telah ditantang, misalnya oleh nominalists seperti Hellman (1989) dan oleh Hofweber (2005). Ini bukan tempat untuk diskusi dengan memperpanjang tantangan tersebut. Saya hanya mencatat bahwa banyak pekerjaan yang diperlukan untuk memperkuat tantangan semacam ini. Penantang harus menyatakan bahwa kesamaan semantik yang jelas antara bahasa matematika dan non-matematika adalah menipu. Dan argumen ini harus bersumber ahli bahasa dan semantikis-tanpa kepentingan dalam filsafat matematika-muncul untuk mengenali sebagai signifikan.

2.3 Mempertahankan Kebenaran
Kebenaran dapat dipertahankan dalam berbagai cara berbeda. Umum untuk semua pertahanan adalah bahwa mereka pertama mengidentifikasi beberapa standar nilai kebenaran pernyataan matematika yang dapat dinilai dan kemudian berpendapat bahwa teorema matematika memenuhi standar ini.
Salah satu pilihan adalah untuk menarik suatu standar yang lebih mendasar dari-pada matematika itu sendiri. Logisisme memberikan contoh. Frege dan pengikut logisisme lainnya mengklaim bahwa teorema pertama dari logika murni adalah benar. Lalu mereka berusaha untuk menunjukkan bahwa teorema cabang matematika tertentu bisa dibuktikan dari logika murni dan definisi sendiri.
Pilihan lain adalah untuk menarik standar ilmu pengetahuan empiris. Argumen indispensabilitas Quine-Putnam memberikan contoh. Pertama dikatakan bahwa setiap bagian tak terpisahkan dari ilmu pengetahuan empiris mungkin sesuatu yang benar dan oleh karena itu kita meyakini bahwa itu benar. Kemudian, ber-pendapat bahwa sebagian besar matematika sangat diperlukan bagi ilmu penge-tahuan empiris. Jika kedua klaim adalah benar, maka berikut adalah kebenaran yang mungkin benar dan bahwa kepercayaan dalam kebenaran yang kemudian dibenarkan.
Pilihan ketiga adalah untuk menarik standar matematika sendiri. Mengapa harus menarik standar non matematis, seperti logika atau ilmu pengetahuan empiris, dalam rangka membela kebenaran teorema matematika? Ketika kita membela kebenaran klaim logika dan fisika, kita tidak perlu untuk menarik masing-masing standar di luar logika dan fisika. Sebaliknya kita menganggap bahwa logika dan fisika menyediakan standar mereka sendiri sebagai pembenaran. Mengapa matematika harus berbeda? Strategi ketiga telah menerima banyak perhatian dalam beberapa tahun terakhir, sering diberi nama 'naturalisme' atau 'naturalisme matematika'.
Berikut adalah contoh bagaimana strategi naturalistik dapat dikembangkan.
Mengingat sikap bahwa matematikawan dibawa ke teorema 'penerimaan' mate-matika. Kemudian klaim berikut tampak masuk akal: Matematikawan dibenarkan dalam menerima teorema matematika. Menerima pernyataan matematika S meng-akibatkan S menjadi benar. Ketika matematikawan menerima pernyataan mate-matis S, maksud dari tindakan ini adalah secara umum arti literal dari S.
Dari ketiga klaim itu, para ahli matematika dibenarkan untuk mengambil teorema matematika berdasar pada kebenaran literal. Dengan pengecualian bahwa juga di-benarkan untuk mempercayai kebenaran. Perhatikan bahwa para ahli yang ber-sangkutan tidak perlu percaya diri dan apalagi telah dibenarkan pada keyakinan tersebut. Yang penting adalah bahwa tiga klaim adalah benar. Tugas menetapkan kebenaran diserahkan kepada ahli bahasa, psikolog, sosiolog, atau filsuf, tetapi tentunya tidak untuk matematika sendiri.

2.4 Gagasan Komitmen Ontologis
Versi argumen fregean kadang-kadang dinyatakan dalam bentuk pengertian dari komitmen ontologis. Asumsikan kita beroperasi dengan kriteria standar Quinean dari komitmen ontologis:

Kriteria Quine
Sebuah kalimat (atau kumpulan kalimat tersebut) adalah ontologis berkomitmen pada objek-objek, seperti diasumsikan berada pada kisaran dari variabel-variabel kalimat (atau kumpulan kalimat) untuk bernilai benar.
Kemudian berikut dari klasikal semantik bahwa banyak kalimat matematika yang secara ontologis berkomitmen pada benda-benda matematis. Untuk melihat ini, mempertimbangkan tipe teorema matematis S, yang melibatkan beberapa kejadian ekstensional normal baik istilah tunggal atau bilangan orde pertama. Dengan klasikal semantik, ungkapan ini dimaksudkan untuk mengacu pada kisaran benda matematis. Agar S bernilai benar, ungkapan-ungkapan ini harus berhasil melaku-kan apa yang mereka dimaksudkan untuk lakukan. Akibatnya, agar S benar, harus ada objek matematika di kisaran variabel. Dengan Kriteria Quine ini berarti S secara ontologis berkomitmen pada benda-benda matematis.
Quine dan banyak yang lain menggunakan Kriteria Quine untuk mendefinisikan 'komitmen ontologis' (Quine 1969 dan Burgess 2004). Namun kriteria tersebut tetap ditantang. Beberapa filsuf menyangkal bahwa istilah tunggal dan bilangan orde pertama secara otomatis memunculkan komitmen ontologis. Mungkin yang “dibutuhkan dari dunia" agar kalimat bernilai benar melibatkan adanya beberapa tetapi tidak semua objek dalam kisaran perhitungan (Rayo 2008). Atau mungkin kita harus memutuskan hubungan antara perhitungan eksistensial orde pertama dan pengertian tentang komitmen ontologis (Azzouni 2004 dan Hofweber 2000).
Satu tanggapan terhadap tantangan ini adalah untuk mengamati bahwa argumen Fregean dikembangkan tanpa menggunakan istilah „komitmen ontologis'. Setiap tantangan dengan definisi 'komitmen ontologis' yang disediakan oleh Kriteria Quine, kemudian muncul tidakrelevanan dengan versi dari argumen Fregean yang dikembangkan di atas. Namun, tanggapan ini tidak mungkin untuk memuaskan penantang, yang akan menjawab bahwa kesimpulan dari argumen yang dikem-bangkan di atas terlalu lemah untuk mempengaruhi apa yang dimaksudkan. Ingat bahwa kesimpulan keberadaan telah disahkan dalam bahasa meta philosohikal LP sebagai 'xMx'. Jadi formalisasi ini akan gagal mempengaruhi yang dimaksudkan kecuali kalimat bahasa meta semacam itu membuat komitmen ontologis. Tetapi itu justru menjadi sengketa penantang. Kontroversi ini tidak dapat mengerucutkan lebih lanjut di sini. Untuk saat ini, mengamati bahwa penantang perlu menyedia-kan akun mengapa gagasan non standar yang berkomitmen ontologis lebih baik dan secara teoritis lebih menarik daripada gagasan Quinean standar.

3. Keberadaan dalam Platonisme Matematika
Ingat bahwa Platonisme matematika adalah hasil dari penambahan keberadaan terhadap dua klaim lain, yaitu keabstrakan dan independen.
Keabstrakan Dengan standar filsafat, keabstrakan relatif tidak kontroversial. Di antara beberapa filsuf telah menantang itu adalah Maddy (1990) (tentang himpunan tidak murni) dan Bigelow (1988) (tentang suatu himpunan berbagai jenis angka). Kurang relatifnya dari kontroversi berarti bahwa pertahanan beberapa eksplisit keabstrak-an telah dikembangkan. Tetapi tidak sulit untuk melihat bagaimana pertahanan tersebut mungkin menghilang. Berikut ini adalah satu ide. Ini adalah kendala yang masuk akal pada setiap interpretasi filosofis praktek matematika yang harus menghindari penjelasan ke semua fitur matematika yang akan membuat praktek matematika menjadi sesat atau tidak memadai. Kendala ini membuat sulit untuk menyangkal bahwa obyek matematika murni adalah abstrak. Karena jika ketiga-nya berada pada spatiotemporal, kemudian praktek matematika yang sebenarnya akan sesat dan tidak memadai, karena itu matematika murni harus menaruh per-hatian pada lokasi obyek mereka, seperti fisikawan tertarik pada lokasi mereka. Fakta bahwa matematikawan murni tidak tertarik dalam pertanyaan ini menunjuk-kan bahwa benda mereka abstrak.

1.2 Keindependenan
Keindependenan menyatakan bahwa objek matematika, jika ada, adalah indepanden dari tingkat kecerdasan, bahasa, pola pikir, dan praktik. Klaim ini relatif diterima dengan perhatian secara eksplisit pada beberapa dekade terakhir (di antara perngecualian ahli filsafat intuitionis dan pembelajaran konstruktivis, seperti Dumment). Klaim ini tampaknya telah secara diam-diam diterima oleh kebanyakan ahli filsafat analitik, bukan karena mereka berpindah argumen, tetapi lebih disebabkan karena mereka tidak memahami apa yang membuat klaim itu gagal. Objek fisik yang biasa menyediakan suatu model baik untuk apa suatu obyek tersebut independen dari kita dan aktivitas kita. Tetapi belum jelas apa yang membuat objek tersebut tidak independen. Bagaimanapun, suatu kegagalan untuk melihat suatu alternatif dengan jelas terhadap suatu pandangan bukanlah suatu pertahanan dari pandangan.
Salah satu strategi adalah mencari rute dari bekerja realisme ke independen. Asumsikan bahwa metodologi matematika klasik dibenarkan. Mungkinkah penjelasan terbaik dari kenyataan ini adalah independen itu benar? Salah satu argumen seperti disarankan oleh Godel, yang mengklaim bahwa legitimasi definisi impredikatif yang terbaik dijelaskan oleh kebenaran dari beberapa bentuk Platonisme, termasuk klaim independen. Namun, meskipun secara luas disepakati bahwa independen akan mendukung legitimasi definisi impredikatif, itu tetap menjadi pertanyaan terbuka apakah implikasi sebaliknya dapat dipertahankan.
Pilihan lain adalah untuk melanjutkan dari teori himpunan metodologi kontem-porer untuk independen (Godel 1964). Sebagian besar mencari aksioma baru dalam teori himpunan saat ini didasarkan pada apa yang disebut "pertimbangan ekstrinsik", dimana aksioma calon dinilai tidak hanya untuk masuk akal intrinsik mereka tetapi juga untuk kapasitas mereka dalam menjelaskan dan sistematisasi fakta-fakta matematika lebih mendasar. Mungkin metodologi ini bisa digunakan untuk memotivasi independen. Namun, hal itu tetap menjadi pertanyaan terbuka apakah saran ini dapat dikembangkan menjadi argumen yang meyakinkan.

4. Keberatan untuk Platonisme Matematika
Berbagai keberatan terhadap Platonisme matematika telah dikembangkan. Berikut adalah yang paling penting.

4.1 Akses Epistemologis
Keberatan yang mungkin paling berpengaruh terinspirasi oleh Benacerraf (1973). Apakah mengikuti versi perbaikan atas keberatan benacerraf's karena lapangan (1989). Versi ini bertumpu pada tiga premis berikut.

Premis 1. Keterandalan matematikawan, dalam arti bahwa hampir setiap kalimat matematika S, jika matematikawan menerima S, maka S adalah benar.

Premis 2. Kepercayaan matematika dibenarkan, pada prinsipnya setidaknya harus memungkinkan untuk menjelaskan keandalan, yang dijelaskan dalam Premis 1.

Premis 3. Jika Platonisme matematika benar, maka keandalan ini tidak bisa dijelaskan bahkan secara prinsipnya.

Jika tiga premis itu benar, maka Platonisme matematika memotong pembenaran kita untuk percaya dalam matematika.
Tetapi apakah premis-premis tersebut benar? Dua permis yang pertama tidak kontroversial. Kebanyakan Platonis sudah berkomitmen pada Premis 1. Premis 2 tampaknya cukup aman. Jika keandalan dari beberapa prosedur pembentukan keyakinan tidak bisa bahkan pada prinsipnya harus dijelaskan, maka prosedur ini akan tampak murni bekerja secara kebetulan, sehingga meremehkan apapun pembenaran yang kita miliki pada keyakinan yang dihasilkan dengan cara ini.
Premis 3 lebih kontroversial. Pembelaan premis ini dengan mengamati bahwa "nilai kebenaran dari pernyataan matematika bergantung pada fakta-fakta yang melibatkan entitas platonis yang berada di luar wilayah ruang-waktu" (Field 1989, hal.68) dan dengan demikian kausal terisolasi dari kami bahkan dalam prinsip. Namun, pertahanan ini mengasumsikan bahwa penjelasan yang memadai dari keandalan dalam pertanyaan harus melibatkan beberapa hubungan kausal. Ini telah ditentang oleh berbagai filsuf yang telah mengajukan penjelasan lebih minim dari klaim keandalan.

4.2 Keberatan Metafisika
Artikel terkenal yang lain oleh Benacerraf dengan mengembangkan keberatan metafisik untuk Platonisme matematika (Benacerraf 1965, Kitcher 1978). Meskipun Benacerraf berfokus pada aritmatika, keberatan secara alami diperumum pada objek matematika yang paling murni.
Benacerraf terbuka dengan membela apa yang sekarang dikenal sebagai pandangan strukturalis dari bilangan asli, sesuai dengan bilangan asli yang tidak memiliki sifat lain selain sifat urutan-W. Sebagai contoh, tidak ada yang lebih besar dari bilangan 3 yang memiliki sifat-sifat intrastruktur relasional tertentu yang didefinisikan, seperti menggantikan 2, menjadi setengah dari 6, dan bilangan prima. Tidak peduli seberapa keras kita mempelajari aritmetika dan teori himpunan, kita tidak akan pernah tahu apakah 3 identik dengan ordinal von Neumann keempat, atau dengan ordinal Zermelo yang sesuai, atau mungkin, seperti Frege yang menyarankan, dengan kelas dari semua kelas angka-tiga (dalam beberapa sistem yang memungkinkan kelas tersebut ada).
Benacerraf kini menggambarkan kesimpulan berikut:
Oleh karena itu, angka bukan merupakan objek, karena dalam memberikan sifat ... bilangan hanya mencirikan struktur abstrak- dan perbedaan terletak pada kenyataan bahwa "elemen" dari struktur tidak memiliki sifat selain yang mengaitkan mereka dengan "elemen" lain pada struktur yang sama. (Benacerraf 1965, hal 291).
Dengan kata lain, Benacerraf mengklaim bahwa tidak ada benda yang tidak ada, tetapi bersifat struktural. Semua objek harus memiliki beberapa sifat non-struktural juga (lihat Benacerraff 1996 untuk beberapa renungan nanti argumen ini).
Kedua langkah dari argumen Benacerraf adalah kontroversial. Langkah pertama, bilangan asli memiliki sifat hanya struktur baru ini yang telah dipertahankan oleh berbagai strukturalis matematika (Parsons 1990, Resnik 1997, dan Shapiro 1997). Tetapi langkah ini ditolak oleh para logisisme dan non-logisisme, yang meng-klaim bahwa bilangan asli secara intrinsik terkait dengan kardinalitas dari koleksi bilangan tersebut. Dan langkah kedua, tidak ada benda dengan sifat-sifat struktural yang hanya secara eksplisit ditolak oleh semua strukturalis yang mem-bela langkah pertama.

4.3 Keberatan Metafisik Lainnya
Selain Benacerraf, berbagai keberatan metafisik untuk Platonisme matematika telah dikembangkan. Salah satu contoh yang lebih terkenal adalah argumen dari Nelson Goodman menentang teori himpunan. Goodman (1956) membela prinsip nominalisme, yang menyatakan bahwa setiap kali dua entitas yang memiliki unsur dasar yang sama, mereka adalah identik. Prinsip ini dapat dianggap sebagai penguatan teoritis terhadap aksioma himpuan yang terkenal. Aksioma tersebut menyatakan bahwa jika x dan y memiliki unsur-unsur yang sama yaitu, jika u (u x ↔ u y) maka mereka adalah identik. Prinsip nominalisme diperoleh dengan mengganti hubungan keanggotaan secara transitif. Pada Prinsipnya menyatakan bahwa jika x dan y dihasilkan oleh * individu yang sama yaitu, jika u (u * x ↔ u * y ) maka x dan y adalah identik. Dengan mendukung prinsip ini, Goodman melarang pembentukan himpunan dan kelas, hanya memungkinkan pembentukan jumlah mereologi dan aplikasi untuk operasi mereologi standar (seperti yang dijelaskan oleh-nya dalam "calculus of individuals")
Namun, pertahanan Goodman terhadap prinsip nominalisme sekarang secara luas dianggap tidak meyakinkan, seperti yang disaksikan dalam penerimaan secara luas oleh para filsuf dan matematikawan pada teori himpunan sebagai cabang yang sah dan berharga matematika.