FIKSIONALISME DALAM FILSAFAT MATEMATIKA


FIKSIONALISME DALAM FILSAFAT MATEMATIKA

Matematika sebagai sebuah pengetahuan yang perumusannya tidak menggunakan metode eksperimental menjadi berbeda dengan sains. Matematika juga berbeda dengan humaniora karena sifatnya yang eksak. Penggabungan dua perbedaan inilah yang menjadikan matematika menarik untuk dikaji. Apalagi kelahirannya bersamaan tempat dan masa dengan kelahiran filsafat, yang disebut sebagai dasar dari segala ilmu. Kesamaan tersebut menimbulkan adanya interaksi antara filsafat dan matematika. Lebih lanjut, interaksi tersebut melahirkan bidang-bidang kajian baru, diantaranya filsafat matematika. Filsafat matematika sendiri kemudian berkembang menjadi banyak aliran. Aliran-aliran tersebut muncul karena perbedaan pendapat antara ilmuwan satu dengan lainnya.
Dari banyak pendapat dan aliran, terdapat satu pendapat baru mengenai asal matematika yang berbeda jauh dengan pendapat lainnya, terutama pendapat 3 aliran besar filsafat matematika (Realisme, Intuisionisme, dan Konstruktivisme). Pendapat lain yang berbeda jauh adalah pendapat aliran Fiksionalisme mengenai keberadaan matematika.
Fiksionalisme matematika atau bisa disebut sebagai fiksionalisme adalah gagasan terbaik sebagai sebuah reaksi terhadap platonisme matematika. Platonisme adalah (a) tinjauan yang ada tentang objek matematika yang bersifat abstrak (yaitu objek matematika nonspatiotemporal), dan (b) kalimat serta teori-teori matematika dimana kita dapat memberikan gambaran yang benar tentang objek-objek. Misalnya : dalam tinjauan platonis, kalimat “3 adalah bilangan prima” memberikan sebuah gambaran yang terus terang tentang sebuah nama objek tertentu, angka 3 memiliki arti yang sama pada kalimat “Planet Mars itu berwarna merah” memberikan sebuah gambaran tentang Mars. Akan tetapi Mars adalah sebuah objek fisik, sedangkan angka 3 (sesuai dengan platonisme) adalah sebuah obyek abstrak. Platonis memberitahukan kepada kita bahwa objek abstrak adalah semua yang bersifat non fisik, non mental, non ruang, non temporal, non sebab. Jadi dalam tinjauan ini, angka 3 ada bebas dalam diri dan pikiran kita, tetapi tidak ada dalam ruang ataupun waktu, bukan berupa objek fisik atau mental, dan tidak masuk kedalam sebab hubungan dengan objek lain. Tinjauan ini telah disahkan oleh Plato, Frege (1884, 1893-1903, 1919), Gödel (1964), dan dalam beberapa tulisan mereka, Russell (1912) dan Quine (1948, 1951), serta oleh banyak filosof/filsuf matematika terdahulu yang tidak disebutkan, misalnya Putnam (1971), Parsons (1971), Steiner (1975), Resnik (1997) Shapiro (1997), Hale (1987), Wright (1983), Katz (1998), Zalta (1988), dan Colyvan (2001).
Fiksionalisme, di sisi lain adalah sebuah tinjauan yang merupakan (a) kalimat dan teori–teori matematika kita yang mengartikan tentang objek-objek matematika yang bersifat abstrak, seperti pendapat-pendapat dalam platonisme, tetapi (b) tidak ada benda yang abstrak sehingga (c) teori-teori matematika kita menjadi tidak benar. Karena itu, ide seperti kalimat “3 adalah bilangan prima” adalah salah, atau tidak benar, untuk alasan yang sama, mengatakan bahwa “peri itu murah hati” adalah salah atau tidak benar, karena tidak ada orang yang seperti peri, jadi tidak ada sesuatu yang seperti angka 3. Hal ini penting untuk dicatat, meskipun nama tinjauan, fiksionalisme tidak melibatkan beberapa pernyataan yang sangat kuat tentang analogi antara matematika dan fiksi. Misalnya, tidak ada pernyataan disini bahwa teks tentang matematika adalah sebuah jenis fiksi atau sesuatu sejenisnya. Karena itu, kekhayalan tidak dimasukkan ke dalam tesis yang tidak ada ketidakanalogisan yang penting antara matematika dan fiksi. (kita akan kembali ke isu ini pada seksi 2.4) Akhirnya, ini seharusnya juga dicatat di awal bahwa fiksionalisme adalah sebuah versi nominal matematika, tinjauan bahwa tidak ada sesuatu yang sama dengan objek matematika.
Fiksionalisme pertama kali dikenalkan oleh Field (1980, 1989, 1998). Sejak itu, kemudian pandangan ini telah dikembangkan dalam hal yang sedikit berbeda oleh Balaguer (1996a, 1996b, 1998a, 2001), Rosen (2001), Yablo (2002a, 2002b), dan Leng (2005, yang akan datang), melalui yang akan dijelaskan di bawah, suatu pertanyaan kemungkinan apakah pandangan Yablo adalah interpretasi terbaik sebagai sebuah versi dalam fiksionalisme. Akhirnya, satu kemungkinan juga diinterpretasikan Melia, sebagai pertahanan pandangan fiksionalis, meskipun dia tidak benar-benar memasukkan ke dalamnya. [Ini catatan berharga bahwa Hoffman (2004) juga mengesahkan sebuah tinjauan yakni, sebuah jenis fiksionalisme.
Pandangannya sangat berbeda dari pandangan fiksionalis yang telah dijelaskan di atas. Bagaimanapun, karena hal ini tidak melibatkan sebuah komitmen ke dalam tesis (a) maka dia menginterpretasikan kembali matematika sepanjang garis Kitcher (1984), dan kemudian mengesahkan sebuah pandangan fiksionalis tentang penginterpretasian kembali, yakni dia mempertahankan pendapat bahwa matematika adalah sebuah penginterpretasian kembali dalam hal ini, ini adalah istilah tunggal yang tidak berhasil untuk menunjukkan dan kalimat-kalimatnya tidak benar. (Ini tidak jelas berapa banyak pandangan yang berbeda dari pandangan Kitcher; satu kemungkinan interpretasi Kitcher sebagai pandangan pengesahan yang sama). Di berbagai acara, ini penting untuk dicatat bahwa penolakan terhadap tesis Hoffman (a) membuat pandangannya sama sekali berbeda dari pandangan fiksionalis yang standar. Ini akan jelas di bawahnya, tesis (a) itu masuk akal, dan kemasukakalannya adalah satu dari berbagai alasan utama untuk kepopuleran platonisme. Karena itu, salah satu dari penjualan pendapat/maksud fiksionalisme yang utama adalah jenis fiksionalisme standar yang dijelaskan di atas bahwa ini menggabungkan penerimaan tesis (a) dengan anti platonistic ontology.]
Ketika seseorang pertama kali mendengar tentang hipotesis fiksionalis, hal itu dapat terlihat sedikit gila. Apakah kita sungguh-sungguh disangka akan mempercayai kalimat seperti “3 adalah bilangan prima” dan “2+2=4” adalah sebuah kalimat yang salah? Tapi seruan fiksionalisme mulai muncul ketika kita menyadari apa alternatif/ pilihan itu. Dengan berpikir hati-hati tentang persoalan seputar interpretasi wacana matematika, ini dapat mulai terlihat bahwa fiksionalisme sebenarnya masuk akal dan sungguh-sunguh. Ini mungkin hanya menjadi pandangan gila yang terakhir.
Dalam makalah ini menyajikan formulasi apa kemungkinan gagasan tentang argumen pokok/ utama untuk fiksionalisme yang akan memunculkan diskusi dari sejumlah pandangan berbeda terhadap fiksionalisme, sebaik/ sama seperti sejumlah versi yang berbeda tentang fiksionalisme. Dua hal ini berjalan bersama secara alami, karena perbedaan versi tentang fiksionalisme telah muncul dalam hubungan dengan reaksi/ tanggapan bahwa ahli-ahli filsafat lain telah memberikan bermacam-macam keberatan terhadap fiksionalisme.
1. Argumen/ pendapat terhadap fiksionalisme
1.1 Argumen utama
1.2 Premis (1) dan penafsiran nominalisme
1.3 Premis (2) dan Neo-Meinongianisme
1.4 Premis (4) dan Fisik serta Psikologisme
1.5 Premis (5) dan Platonisme.

1. Argumen/ pendapat terhadap fiksionalisme
1.1 Argumen/ Pendapat Utama
Pendapat utama untuk hasil fiksionalisme yang utama dengan mencoba untuk menghapuskan/ menghilangkan semua alternatif/ pilihan-pilihan. Pendapat tersebut dapat dikatakan seperti ini :
Kalimat matematika seperti “4 adalah bilangan genap” harus dibaca menurut bentuk dasarnya, seperti mereka harus dibaca sebagai bentuk dari “Fa” dan oleh sebab itu, sebagai pembuat pernyataan yang berterusterang/ benar tentang sifat dari benda-benda tertentu, contohnya, “4 adalah bilangan genap” harus dibaca sebagai pembuat pernyataan yang berterus terang/ benar tentang sifat dari angka 4.
Tetapi, jika kalimat-kalimat seperti “4 adalah bilangan genap” harus dibaca menurut bentuk dasarnya, dan jika selain itu mereka (kalimat-kalimat itu) adalah benar, maka harus benar-benar ada benda hidup dari jenis seperti yang disebutkan tadi, misalnya, jika “4 adalah bilangan genap” menjadikan sebuah pernyataan yang benar tentang sifat dari angka 4, dan jika kalimat ini adalah benar secara harfiah, maka harus ada contoh nyata yang mewakili angka 4. Oleh karena itu, dari (1) dan (2), itu menunjukkan bahwa jika kalimat-kalimat seperti “4 adalah bilangan genap” adalah benar, maka harus ada semacam benda sebagai obyek matematika. Tetapi, jika ada semacam benda seperti obyek matematika, maka ada benda-benda abstrak, dengan kata lain, objek/ benda-benda nonspatiotemporal, contohnya, jika ada semacam benda seperti angka 4, maka itu adalah sebuah benda/ objek absrak, bukan benda fisik atau benda mental.
Tidak ada macam benda yang seperti benda abstrak. Oleh karena itu, dari (4) dan (5) dengan menggunakan modus tollens, ini berarti bahwa tidak ada macam benda seperti objek matematika. Sehingga, dari (3) dan (6) dengan menggunakan modus tollens, ini berarti bahwa :
Kalimat seperti “4 adalah bilangan genap” adalah tidak benar (tentu, mereka/ kalimat-kalimat itu tidak benar karena alasan yang diberikan oleh fiksionalis, dan juga itu berarti bahwa fiksionalisme adalah benar).
Tiga kesimpulan pada argumen ini adalah benar-benar sangat valid, dan satu-satunya pertanyaan, apakah empat premis dasar (1), (2), (4), dan (5) adalah benar. Dan sesuatu yang baik tentang arah argumen ini adalah merubah masing-masing premis yang diandaikan/ diharuskan untuk mendapatkan penyelesaian dari sebuah alternatif yang berbeda untuk fiksionalisme. Jadi, argumen pada (1)-(7) adalah benar-benar sebuah kerangka dari sebuah argumen yang cukup panjang yang mencakup subargumen-subargumen yang menyerupai premis-premis dasar sehingga menentang bermacam-macam alternatif untuk fiksionalisme.
Dari hal-hal tersebut, kita dapat mengatakan bahwa lima alternatif (atau jika kamu lebih suka mengatakan, lima kategori alternatif) untuk fiksionalisme. Orang yang menolak alternatif (1) dapat disebut nominalis paraphrase, yang menolak alternatif (2) dapat disebut neo-Meinongians, yang menolak alternatif (4) adalah fisikalis ataupun psikologis, dan yang menolak (5) adalah platonis. Untuk memotivasi pandangan mereka, fiksionalis perlu memberikan argumen-argumen yang dapat melawan semua pandangan-pandangan mereka.
Bagian termudah dari pekerjaan seorang fiksionalis di sini adalah berdebat melawan berbagai pandangan-pandangan anti-Platonis. Semua pandangan parafrase nominalisme, neo-Meinongianisme, fisikalisme, dan psikologisme dapat dipahami (seperti memahami fiksionalisme) sebagai reaksi terhadap Platonisme. Platonisme adalah sebuah pandangan yang sangat menarik karena memberikan catatan/ laporan praktek matematika dan wacana matematika yang sangat alami dan menyenangkan.
Namun meskipun demikian, banyak filsuf/ filosof yang tidak mendukung Platonisme, karena mereka tidak bisa membawa diri untuk menerima ontologinya. Dengan kata lain, mereka hanya tidak percaya bahwa ada hal-hal seperti benda abstrak. Oleh karena ini, banyak pekerjaan yang telah dilakukan dalam filsafat matematika yang telah didedikasikan sebagai upaya untuk menghindari Platonisme. Secara khusus, nominalisme parafrase, neo-Meinongianism, fisikalisme, dan psikologisme, semua dapat dipahami dalam istilah-istilah ini. Mereka semua berusaha untuk merusak pandangan platonistic dari kondisi kebenaran pada kalimat matematika. Tapi hal tersebut akan menjadi jelas di bawah ini, ada masalah serius dengan semua pandangan.
Dan ini adalah dimana fiksionalisme berasal: ia memberikan pandangan platonistic dari kondisi kebenaran pada kalimat matematika tetapi masih menyangkal tesis ontologis Platonis bahwa terdapat benda-benda abstrak. Hal ini membuat fiksionalisme sangat berbeda dari pandangan anti-Platonis lainnya. Kita bisa menghargai ini dengan mencatat bahwa Platonisme melibatkan dua tesis yang berbeda, satu semantik dan ontologis lainnya. Tesis semantik adalah sebuah hipotesis empiris tentang kondisi kebenaran tuturan matematika biasa, dan tesis ontologis adalah sebuah hipotesis yang sangat metafisik tentang keberadaan benda-benda abstrak. Setiap versi anti-Platonisme menolak hipotesis ontologis Platonis, dan semua versi non-fiksionalistik anti-Platonisme juga menolak tesis semantik. Fiksionalisme adalah satu-satunya pandangan anti-platonistik yang tidak menolak tesis semantik. Dan inilah mengapa fiksionalisme bisa tampak lebih menarik daripada versi anti-Platonisme yang lain, karena hipotesis semantik Platonis sangat masuk akal dan termotivasi dengan baik. Dengan demikian, versi dari anti-Platonisme yang menolak hipotesis ini bisa tampak tidak masuk akal dan tidak termotivasi.
Jadi sekali lagi, bagian yang mudah dari argumen untuk fiksionalisme (atau paling tidak, bagian lebih mudah) dilakukan dengan memberikan argumen untuk premis (1), (2), dan (4) atau yang setara, dengan memberikan argumen terhadap berbagai versi non-fiksionalistic anti-Platonisme, yakni, nominalisme parafrase, neo-Meinongianism, fisikalisme, dan psikologisme. Tiga sub bagian berikutnya 7 (1.2-1.4) membahas keempat pandangan sebaik/ seperti beberapa argumen bahwa fiksionalis mungkin berentangan dengan mereka. Bagian 1.5 mencakup bagian yang lebih sulit dari argumen fiksionalis itu, yaitu premis (5) dan pertanyaan tentang bagaimana fiksionalis mungkin bertentangan dengan Platonisme.

1.2 Premis (1) dan Nominalisme Parafrase
Nominalisme parafrase adalah sebuah pandangan dimana kalimat biasa seperti “3 adalah bilangan prima” tidak seharusnya dibaca sebagai bentuk nominal/ dasar atau lebih khusus, bahwa mereka tidak seharusnya dibaca sebagai bentuk 'Fa' dan membuat klaim tentang objek matematika. Ada beberapa versi yang berbeda dari pandangan ini. Mungkin yang paling terkenal adalah if-thenism. Pada pandangan ini, “3 adalah bilangan prima” adalah penafsiran terbaik sebagai pernyataaan sebuah klaim bersyarat, seperti “jika ada angka/ bilangan, maka 3 akan menjadi bilangan prima” atau mungkin “tentu, jika ada angka/ bilangan, maka 3 adalah bilangan prima”. (versi if-thenism telah dikembangkan oleh Putnam (1967a,b) dan Hellman (1989); selain itu, seorang pelopor/ pendahulu pandangan ini telah didukung oleh Hilbert awal (lihat 1899 dan surat-suratnya kepada Frege di Frege 1980).
Masalah dengan pandangan nominalis parafrase adalah sangat sederhana: mereka melibatkan hipotesis empiris mengenai makna tuturan matematika biasa yang sangat tidak masuk akal. Sebagai contoh, sehubungan dengan if-thenism, hanya saja sangat sulit untuk percaya bahwa interpretasi terbaik dari pembicara-pembicara biasa terkait wacana matematika (matematikawan biasa dan rakyat biasa) yang mengatakan, ketika mereka mengucapkan, misalnya, “3 adalah bilangan prima" adalah bahwa jika ada angka-angka maka 3 akan menjadi prima. Ini tampaknya hanya untuk mendapatkan kesalahan apa yang orang benar-benar artikan ketika mereka mengucapkan kalimat seperti ini. Memang, tampaknya bahwa nilai yang lebih umum dapat dibuat di sini. Ada sebuah prinsip penafsiran yang baik yang mengatakan sesuatu seperti ini: kita harus menafsirkan ucapan-ucapan orang pada nilai nominal kecuali ada bukti bahwa mereka memiliki niat positif untuk ditafsirkan secara non-harfiah. Mengingat hal ini dan mengingat (apa yang tampak jelas) bahwa orang-orang biasa tidak memiliki niat positif bagi ucapan-ucapan matematika mereka untuk ditafsirkan secara non-harfiah, misalnya, sebagai pengekspresian proposisi bersyarat atau sesuatu seperti itu, tampaknya perlu menunjukkan bahwa kita harus menafsirkan tuturan matematika kita pada nilai nominal. Tetapi ini berarti bahwa kita harus menerima premis (1) dan menolak nominalis parafrase.
Nominalis parafrase mungkin mencoba untuk menanggapi argumen ini dengan menyangkal bahwa mereka berkomitmen pada tesis bahwa parafrase mereka sesuai dengan niat matematikawan biasa dan rakyat biasa. Dengan kata lain, mereka mungkin mengklaim bahwa pandangan mereka menyangkut hal ini tidak pada apa yang orang biasa sebenarnya maksud dengan ucapan-ucapan matematis mereka, melainkan bagaimana ucapan-ucapan ini harus dipahami atau beberapa hal-hal semacam itu (Chihara membuat klaim seperti itu dalam bukunya pada 2004). Tapi nominalis parafrase tidak dapat mendukung sikap ini, karena jika mereka melakukannya, pandangan mereka akan runtuh ke dalam versi fiksionalisme.
Jika nominalis parafrase mengakui bahwa Platonis dan fiksionalis benar tentang makna dari ucapan-ucapan matematika nyata, yaitu ucapan-ucapan aktual matematikawan maka (karena mereka juga ingin mempertahankan bahwa tidak ada hal-hal/ benda-benda sebagai obyek abstrak) mereka akan berkomitmen untuk mengklaim bahwa ucapan-ucapan dari ahli matematika yang sebenarnya tidak benar. Jadi, jika nominalis parafrase tidak mengklaim bahwa parafrase mereka menangkap makna sebenarnya dari kalimat matematika biasa, maka pandangan mereka tidak akan memberikan alternatif yang tulus untuk fiksionalisme. Ini akan runtuh menjadi versi fiksionalisme. Lebih khusus, seorang nominalis parafrase hanya akan menjadi fiksionalis yang berpikir bahwa kita harus mengubah bahasa matematika kita, atau apa yang kita maksud dengan ucapan-ucapan matematika kita, atau mungkin klaim tersebut hanya akan menjadi sederhana bahwa kita bisa mengubah bahasa matematika kita jika kita menginginkannya dan fakta ini memberikan fictionalis suatu cara menanggapi keberatan tertentu.

1.3 Premis (2) dan Neo-Meinongianisme
Neo-Meinongianism adalah pandangan bahwa (a) sebagai Platonis dan fictionalis mempertahankan kalimat matematika biasa seperti “3 adalah bilangan prima” harus dibaca pada nilai nominalnya/ bentuk dasarnya, yaitu, sebagai bentuk “Fa” dan karenanya seperti membuat klaim/ pernyataan tentang objek matematika, dan (b) tidak ada hal-hal seperti objek matematika, tetapi (c) kalimat matematika kita masih benar. Pandangan semacam ini telah didukung oleh Routley (1980), Azzouni (1994, 2004), Imam (2003, 2005), dan Bueno (2005).
Sebelum menguraikan masalah dengan neo-Meinongianisme, penting untuk dicatat bahwa pernyataan utama di balik pandangan itu adalah suatu hipotesis empiris mengenai wacana biasa. Secara khusus, ini adalah klaim/ pernyataan tentang arti 'benar', atau konsep kebenaran. Ketika neo-Meinongians mengatakan bahwa, misalnya, “3 adalah bilangan prima” bisa benar bahkan jika tidak ada hal/ benda seperti angka 3, mereka membuat klaim/ pernyataan tentang konsep biasa pada kebenaran. Mereka mengatakan bahwa konsep yang berlaku dalam situasi tertentu yang sebagian besar dari kita -Platonis dan fiksionalis dan hanya tentang orang lain- berpikir itu tidak berlaku. Jika neo-Meinongianism mencoba untuk menyangkal bahwa mereka membuat sebuah klaim/ pernyataan tentang konsep biasa tentang kebenaran, maka pandangan mereka akan runtuh ke dalam versi fiksionalisme. Sejak saat mereka setuju dengan fictionalis bahwa “3 adalah bilangan prima” dimaksudkan untuk menjadi objek abstrak tertentu, dan sejak saat itu mereka juga setuju bahwa tidak ada hal-hal seperti benda abstrak, itu menunjukkan bahwa jika mereka mendukung sebuah pandangan standar tentang kebenaran, yaitu, pandangan Platonis-fiksionalis sesuai dengan sebuah kalimat dari bentuk “Fa” tidak bisa benar, kecuali jika 'a' menunjukkan ke objek/ benda yang benar-benar nyata maka mereka harus mengakui bahwa kalimat “3 adalah bilangan prima” adalah tidak benar. Sekarang, mereka mungkin menuju untuk berpendapat bahwa kalimat-kalimat ini adalah benar *-dimana hal ini didefinisikan sedemikian rupa sehingga kalimat dari bentuk “Fa” dapat menjadi benar* bahkan jika tidak ada hal/ benda semacam itu, tentu saja, fictionalis akan setuju dengan hal ini. Jadi, jika neo-Meinongianisme benar-benar berbeda dari fiksionalisme, itu harus melibatkan sebuah tesis tentang arti dari kata “benar”; pada khususnya, klaim/ pernyataan harus menjadi bahwa kalimat bentuk “Fa” dapat benar, dalam arti istilah biasa, bahkan jika istilah tunggal “a” tidak mengacu kepada apapun.
Dari hal-hal tersebut, sebagian besar fictionalis mungkin akan mengatakan bahwa masalah dengan Neo-Meinongianisme adalah suatu hal yang tidak masuk akal secara empiris. Dengan kata lain, keberatan akan mengarah pada hal bahwa neo-Meinongianism terbang buruk dalam menghadapi intuisi kita tentang arti “benar”. Dan tampaknya ada beberapa pembenaran untuk klaim ini. Sebagai contoh, sepertinya jelas secara intuitif bahwa kalimat “Mars adalah sebuah planet" tidak bisa benar secara harfiah, kecuali ada hal/ benda yang benar-benar seperti Mars. Jika ini benar, maka tesis neo-Meinongianism semantik bertentangan dengan intuisi semantik kita sehingga hal ini memberikan bukti kuat untuk berpikir bahwa itu salah.
Tapi juga terdapat masalah kedua dengan neo-Meinongianisme: yang seharusnya memberikan kita cara menghindari Platonisme, namun pada kenyataannya, tidak. Prima facie, mungkin tampak bahwa neo-Meinongianism benar-benar memberikan cara untuk menghindari Platonisme, karena argumen untuk Platonisme mungkin tampaknya mengandalkan pada premis (2) di atas yakni, mungkin tampaknya mengandalkan pada klaim anti neo-Meinongian bahwa jika kalimat seperti “4 adalah bilangan genap” harus dibaca sesuai nilai nominalnya/ bentuk dasarnya, yaitu, sebagai bentuk “Fa”, dan jika kalimat ini benar secara harfiah, maka kami berkomitmen untuk mempercayai kepada objek yang mereka bicarakan, misalnya angka 4.
Namun, dalam kenyataannya, Platonis dapat merumuskan argumen mereka sehingga tidak bergantung pada premis anti neo-Meinongian ini. Untuk menunjukkan hal ini, mari kita mulai dengan memperkenalkan dua persyaratan baru dari suatu seni “true1” dan “true2” dan menetapkan bahwa “true1” diambil sebagai bentuk pengekspresian konsep Platonis-fiksionalis dari kebenaran, sehingga kalimat dari bentuk “Fa” tidak dapat menjadi “true1” kecuali “a” sebenarnya merujuk pada sesuatu, sedangkan “true2” mengungkapkan sebuah konsep kebenaran neo-Meinongian, sehingga kalimat dari bentuk “Fa” dapat menjadi “true2” bahkan jika “a” tidak mengacu apa-apa. Mengingat hal ini, Platonis dapat berkata sebagai berikut:
Kami hanya tidak peduli apakah kata “true (benar)”, seperti digunakan dalam bahasa Inggris biasa, mengekspresikan kebenaran1 atau kebenaran2 (atau apakah itu ambigu dan kadang-kadang mengungkapkan suatu konsep dan kadang-kadang yang lain). Memang benar bahwa formulasi standar argumen untuk Platonisme melibatkan klaim yang menyatakan bahwa kalimat matematika biasa seperti “3 adalah bilangan prima" adalah benar. Tapi kita bisa dengan mudah mendasarkan argumen kita pada klaim/ pernyataan bahwa kalimat seperti itu adalah “true1”. Dalam melakukan hal ini, kita tidak akan melemahkan argumen kita dengan cara apapun. Karena argumen yang kita gunakan untuk memotivasi kebenaran matematika, terutama argumen indispensability Quine-Putnam yang dibahas di bawah adalah argumen untuk kebenaran1 matematika. Dan ini seharusnya tidak mengejutkan, karena ketika kita mengatakan bahwa kalimat matematika biasa seperti “3 adalah bilangan prima" adalah benar, apa yang kita maksud adalah bahwa mereka adalah true1, maka, tentu saja, argumen yang kita berikan untuk kebenaran matematika adalah yang sudah seharusnya menjadi argumen untuk kebenaran1 matematika.
Mengingat bahwa Platonis dapat melanjutkan cara ini, tampaknya pertanyaan apakah tesis semantik neo-Meinongian adalah benar, yaitu pertanyaan apakah kata Inggris “true/benar” mengungkapkan konsep dari kebenaran1 atau kebenaran2 hanyalah sebuah red herring/ ikan merah. Pertanyaan sebenarnya adalah apakah Platonis memiliki beberapa argumen yang baik untuk truth1/ kebenaran1 dari matematika (dan tentu saja, apakah anti-Platonis memiliki argumen yang baik untuk menentang truth1 matematika). Dengan kata lain, jika kita berasumsi bahwa premis (1) dan (4) adalah benar, sehingga kita harus membaca klaim matematika kita sebagai sesuatu tentang (atau setidaknya yang mengaku tentang) benda-benda abstrak, maka pertanyaan sesungguhnya adalah apakah ada alasan yang baik untuk memilih antara Platonisme dan fiksionalisme.

1.4 Premis (4) dan Fisikalisme and Psikologisme
Fisikalisme adalah pandangan bahwa kalimat matematika dan teori-teori kita merupakan benda-benda fisik biasa. John Stuart Mill (1843) mengembangkan sebuah pandangan semacam ini. Dalam pandangannya, matematika hanyalah sebuah ilmu alam yang sangat umum. Jadi, misalnya, menurut Mill, kalimat “2 +3 = 5” bukan klaim/ pernyataan tentang benda abstrak (angka 2, 3, dan 5), melainkan adalah klaim tentang tumpukan benda-benda fisik (khususnya, itu memberitahu kita bahwa jika kita mendorong sebuah tumpukan dua objek/ benda bersama dengan sebuah tumpukan tiga obyek/ benda, kita akan mendapatkan sebuah tumpukan lima objek/ benda. (Philip Kitcher (1984) dan Penelope Maddy awal (1990) juga mendukung pandangan dengan “kecenderungan psikalistik", namun pada akhirnya, juga tidak masuk akal jika diartikan dengan jatuh ke kelompok ini. Pandangan awal Maddy lebih baik dianggap sebagai semacam non-tradisional dari Platonisme, karena menurut pandangan ini, matematika adalah tentang benda-benda nonfisik yang muncul dalam ruang dan waktu, dan pandangan Kitcher adalah pikiran terbaik sebagai sejenis nominalisme parafrase, karena dalam pandangannya, tuturan matematika ternyata tidak akan mengenai obyek sebenarnya ada).
36.0j�ieH� �50%'>Argumentasi Epistemologi sangat sederhana. Hal itu didasarkan pada gagasan di mana, menurut Platonisme, pengetahuan tentang Matematika adalah pengetahuan obyek abstrak. Argumentasi ini tidak bisa memperoleh pengetahuan tentang obyek abstrak berproses, sebagai berikut : - Manusia ada di dalam ruang dan waktu. - Obyek abstrak, berada di luar ruang dan waktu. - Oleh karena itu, nampak manusia tidak mudah memperoleh pengetahuan obyek abstrak.
Ada tiga jalan Platonists untuk menanggapi argumentasi ini. (1), mereka dapat menolak (2), atau mereka dapat menerima. (3) menjelaskan, meskipun tidak jelas. Platonist yang menolak (1) memelihara pikiran manusia bahwa fisik mampu untuk menghubungkan obyek abstrak dengan demikian memperoleh informasi tentang apakah obyek itu. Strategi ini telah dikejar oleh Plato dan Godel. Menurut Plato, orang-orang mempunyai jiwa tidak penting, dan kelahiran jiwa mereka memperoleh pengetahuan obyek abstrak sedemikian sehingga pelajaran matematika sungguh sekedar proses.
Menurut Godel, manusia memperoleh informasi tentang obyek abstrak atas pertolongan suatu panca indera. Ilmu Matematika hampir sama di mana informasi tentang obyek fisik diperoleh melalui perasaan. Platonis yang menolak (2) mengubah pandangan bersifat persatuan yang tradisional dan memelihara bahwa walaupun memisahkan object adalah bukan fisik dan bukan benda, mereka masih ditempatkan pada ruang dan waktu tertentu, oleh sebab itu menurut pandangannya, pengetahuan object abstrak dapat diperoleh melalui perasaan biasa. Maddy mengembangkan gagasan ini dalam hubungan dengan keputusan.
Dia mengklaim bahwa satuan obyek yang berupa bentuk fisik terletak dimanapun, oleh karena itu, orang-orang dapat merasa, melihat, mencicip dan seterusnya. Sebagai contoh, umpamakan Maddy sedang memperhatikan tiga telur. Menurut pandangannya, dia dapat melihat tidak hanya ketiga telur tetapi menetapkan isinya. Seperti itu, dia mengetahui bahwa telur adalah putih. Platonis yang menerima kedua-duanya (1) dan (2) menyangkal bahwa manusia mempunyai beberapa macam kontak dengan object abstrak yang diusulkan oleh Plato, Godel dan Maddy. Platonis masih berpikir bahwa manusia dapat memperoleh pengetahuan object abstrak. Pengetahuan abstrak matematik memperoleh bukti untuk kebenaran dari teori ilmiah empiris mereka. Bukti ini menyediakan alasan untuk percaya. Semua tentang ilmu pengetahuan empiris, dan ilmu pengetahuan tentang obyek matematika.
Pendekatan lain yang dikembangkan oleh Resnik dan Shapiro, untuk mengakui bahwa manusia dapat memperoleh pengetahuan matematika secara struktur dan pertolongan pancaindera. Mereka mengakui struktur matematika itu tak lain hanya membuat pola dan manusia dengan jelas mempunyai kemampuan untuk merumuskannya. Strategi yang lain Platonisme didasarkan pada klaim Platonis adalah benar. Kemudian pengetahuan obyek abstrak dapat diperoleh tanpa bantuan segala kontak interaksi dengan obyek tersebut. Khususnya pengetahuan obyek abstrak bisa diperoleh melalui dua metode (yang sesuai dengan metodologi para ahli matematik yang nyata): pertama menetapkan struktur matematika yang menandai struktur dan kedua, menyimpulkan fakta tentang struktur ini dengan pembuktian dalil. Sebagai contoh, jika para ahli matematika ingin belajar urutan bilangan bulat positif, mereka dapat mulai dengan merinci strukturnya. Di sini Platonis dapat memelihara kelanjutan dengan cara ini.
Para ahli matematika memperoleh pengetahuan obyek abstrak tanpa bantuan informasi dengan obyek yang diteliti. Tanpa Platonisme ini tidak bisa, sebab tradisi Platonis tidak punya jawaban bagi pertanyaan. "Bagaimana cara para ahli matematika mengetahui sistem aksioma yang tersebut dalam dunia matemalika. Platonists mengatakan bahwa ketika para ahli matematika meletakkan sistem aksioma pada dunia matematika, mereka dapat memperoleh pengetahuan itu hanya dengan membuktikan dalil dari aksioma yang diberikan.

KESIMPULAN
 Tanpa persetujuan tersebar luas, fictionalists dapat berhasil menjawab ketidakmampuan berpendapat. Tanpa persetujuan tersebar luas Platonists dapat bereaksi terhadap pendapat tersebut. Keduanya Platonism dan Fictionalism dapat dengan sukses melindungi semua argumentasi yang tradisional. Ingat bahwa Platonism dan Fictionalism bermufakat bagaimana ilmu matematika harus ditafsirkan, keduanya berpandangan setuju bahwa matematika itu harus ditafsirkan sebagai hal yang menyatakan tentang obyek abstrak. Pada pertanyaan apakah obyek abstrak ada dan suatu pengujian tentang pertanyaan untuk menerima atau menolak. Sesungguhnya manusia pada prinsipnya mengetahui ada hal-hal seperti memisahkan obyek. Penulis nampak ragu-ragu yang mana suatu jawaban benar ada. Karena itu dapat berargumentasi bahwa konsep dan suatu obyek abstrak menjadi sangat belum jelas. 

0 komentar:

Posting Komentar